Rabu 03 Dec 2025 22:50 WIB

Tiga Hakim Vonis Lepas Kasus Korupsi CPO Divonis 11 Tahun Penjara

Majelis Hakim turut menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.

Terdakwa kasus dugaan suap terhadap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) Ali Muhtarom.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa kasus dugaan suap terhadap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) Ali Muhtarom.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga hakim nonaktif yang menjatuhkan vonis lepas (ontslag) terhadap kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tahun 2022, masing-masing dipidana selama 11 tahun penjara.

Ketiga hakim tersebut, yakni Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharuddin. Djuyamto terbukti menerima uang suap sebesar Rp9,21 miliar serta Ali dan Agam masing-masing menerima Rp6,4 miliar.

Baca Juga

"Menyatakan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap yang dilakukan secara bersama-sama," kata Hakim Ketua Effendi dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/12/2025).

Selain pidana penjara, ketiga terdakwa juga dijatuhkan pidana denda masing-masing sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan.

Tak hanya itu, Majelis Hakim turut menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.

Secara perinci, Djuyamto divonis untuk membayar uang pengganti senilai Rp9,21 miliar serta Ali dan Agam masing-masing Rp6,4 miliar, dengan masing-masing subsider 4 tahun penjara.

Dengan demikian, ketiganya dinyatakan bersalah sesuai Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebelum menjatuhkan vonis, Majelis Hakim mempertimbangkan perbuatan ketiga terdakwa yang tidak mendukung komitmen negara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mereka juga telah mencoreng nama baik lembaga yudikatif sebagai benteng terakhir pencari keadilan di Republik Indonesia, sebagai hal memberatkan.

Selain itu, keadaan memberatkan lainnya yang menjadi pertimbangan berupa para terdakwa merupakan aparat penegak hukum yang melakukan tindak pidana dalam jabatannya sebagai hakim tindak pidana korupsi saat mengadili perkara tindak pidana korupsi. Posisi mereka seharusnya memberikan keadilan, tetapi malah melakukan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi itu juga dilakukan bukan karena kebutuhan (corruption by need), tetapi karena keserakahan (corruption by greed).

Sementara hal meringankan yang dipertimbangkan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan, yakni para terdakwa telah mengembalikan sebagian uang suap yang diterima dan masih memiliki tanggungan keluarga.

"Mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan tersebut, hukuman atau pemidanaan yang dijatuhkan kepada para terdakwa kiranya sudah memenuhi rasa keadilan," ungkap Hakim Ketua.

Putusan hakim tersebut sedikit lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni masing-masing pidana penjara selama 12 tahun, denda Rp500 juta subsider pidana 6 bulan kurungan, serta uang pengganti sebesar Rp9,5 miliar untuk Djuyamto beserta Ali dan Agam masing-masing dituntut membayar Rp6,2 miliar, dengan masing-masing subsider 5 tahun penjara.

Adapun dalam perkara tersebut, ketiga hakim menerima suap sebanyak dua kali, yang diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Syafei selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi pada kasus CPO, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement