REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto mencurigai Maktour Travel mengintervensi besaran pembagian kuota haji tambahan 2024 di Kementerian Agama (Kemenag). Hanya saja, KPK ogah menyebut besaran kuota haji khusus yang diterima biro perjalanan ibadah haji dan umrah milik Fuad Hasan Masyhur itu.
“Kemudian tadi juga ditanyakan terkait beberapa (kuota haji khusus) yang (diperoleh) travel agent (Maktour) ya, ini pastinya ya agak sedikit sudah masuk materi ya,” kata Setyo kepada wartawan, Rabu (3/12/2025).
Setyo pun tak menjawab pasti soal dugaan permintaan Fuad Hasan Masyhur supaya kuota haji tambahan 20 ribu jamaah dari Pemerintah Arab Saudi dibuat dengan komposisi 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen haji khusus.
“Di sinilah kita mau memastikan apakah ini memang permintaan datangnya dari bawah atau memang ada keinginan dari atas atau mungkin istilahnya itu dari pihak penyelenggara negara atau pemerintah dalam hal ini, pemerintah yang mengondisikan detailnya,” ujar Setyo.
Setyo menegaskan, seluruh informasi dan bukti yang terhubung dengan dugaan korupsi pembagian kuota haji tambahan masih ditelusuri penyidik. Ini menyangkut kemungkinan adanya aliran dana dalam transaksi jual beli kuota haji khusus.
“Pastinya nanti dalam proses pendalaman atau pemeriksaan itulah yang akan dilakukan oleh para penyidik,” ujar Setyo.
Sebelumnya, KPK mengungkap dugaan asosiasi yang mewakili perusahaan travel melobi Kemenag supaya memperoleh kuota yang lebih banyak bagi haji khusus. KPK mengendus lebih dari 100 travel haji dan umrah diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi kuota haji ini. Tapi, KPK belum merinci ratusan agen travel itu.
KPK menyebut setiap travel memperoleh jumlah kuota haji khusus berbeda-beda. Hal itu didasarkan seberapa besar atau kecil travel itu. Dari kalkulasi awal, KPK mengklaim kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun lebih.
KPK sudah menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan meski tersangkanya belum diungkap. Penetapan tersangka merujuk pada Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.