REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 106 orang dilantik sebagai komisioner baru untuk memimpin 20 KPU provinsi periode 2023-2028, di Kantor KPU RI, Jakarta, Rabu (24/5/2023). Dari jumlah tersebut, hanya 18 orang perempuan atau 17 persen saja.
Bahkan, sebanyak enam KPU provinsi tidak ada satu pun komisioner perempuan. Salah satunya adalah KPU Banten dengan tujuh komisioner yang semuanya laki-laki. Sedangkan KPU Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, Gorontalo, dan Papua Pegunungan masing-masing diisi lima komisioner baru yang semuanya pria.
Terdapat 10 KPU dengan satu komisioner perempuan. KPU Sulawesi Selatan diisi satu perempuan dari tujuh komisioner baru. Sedangkan KPU Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya masing-masing diisi satu perempuan dari lima komisioner.
Keterwakilan perempuan paling banyak ada di KPU DKI Jakarta, yakni dua perempuan dari tujuh komisioner baru. Sedangkan di KPU Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Papua Selatan masing-masing diisi dua perempuan dari lima komisioner.
Ketika dimintai tanggapan ihwal minimnya jumlah komisioner perempuan ini, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menyebut 106 orang itu terpilih melalui tahapan seleksi yang mengutamakan kemampuan para calon. Ujian yang diberikan kepada para calon juga sama, tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan.
"Yang namanya seleksi itu kan sesuai kemampuan masing-masing. Standarnya sama, soalnya sama," kata Hasyim kepada wartawan usai melantik 106 komisioner baru itu di Kantor KPU RI.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah menyayangkan minimnya jumlah komisioner perempuan ini. Sebab, Pasal 10 UU Pemilu secara jelas memerintahkan agar komposisi keanggotaan KPU harus "memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen".
Hurriyah menjelaskan, kehadiran perempuan di lembaga penyelenggara pemilu bertujuan agar kaum hawa tak lagi dimarginalkan dalam ranah pengambilan keputusan. Dengan begitu, para komisioner perempuan itu bisa mendorong munculnya kebijakan yang inklusif terhadap kaum hawa. Apalagi, sekitar 50 persen pemilih adalah perempuan.
"Ketika kemudian perempuan tidak hadir di dalam lembaga penyelenggara pemilu, ini, kan, pasti akan berdampak pada kebijakan-kebijakan yang bisa jadi tidak memiliki atau tidak memperhatikan perspektif gender," kata Hurriyah ketika dihubungi.
Dia mencontohkan kebijakan yang tidak memperhatikan perempuan itu adalah Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD. Salah satu pasalnya berpotensi mengurangi jumlah caleg perempuan. Hal itu diyakini terjadi salah satunya karena jumlah komisioner perempuan di KPU RI hanya satu orang.