Kamis 20 Apr 2023 13:58 WIB

HNW: Gugatan Partai Berkarya Bertentangan dengan Konstitusi

Konstitusi menetapkan bahwa pemilu digelar setiap lima tahun sekali.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Teguh Firmansyah
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mendukung opsi “legislative review” terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dibuka oleh Pemerintah.
Foto: MPR
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mendukung opsi “legislative review” terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dibuka oleh Pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat taat konstitusi. Pengadilan mesti konsisten menegakkan prinsip Indonesia sebagai negara hukum UUD NRI Pasal 1 ayat (3) dengan menolak gugatan Partai Berkarya.

Partai Berkarya meminta KPU menyetop seluruh tahapan pemilu yang berkonsekuensi Pemilu 2024 bisa tertunda.

Baca Juga

"Gugatan tersebut bukan hanya tidak pada tempatnya, melainkan juga bertentangan dengan konstitusi karena UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan kalau pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali," kata HNW, Kamis (20/4).

HNW membantah argumen Partai Berkarya yang merujuk kepada penundaan pemilu di Orde Baru pada 1976 ke 1977. Namun mesti diingat bahwa konstitusi yang berlaku saat itu bukanlah UUD 1945 hasil amandemen. 

 

Demikian halnya ketika era Presiden Habibie pemilu pernah dimajukan pelaksanaan dari mestinya 2003 menjadi 1999. Saat itu juga menggunakan konsitusi sebelum perubahan. 

Namun setelah hadirnya era reformasi, berlangsung amandemen atas UUD 1945 yang menghadirkan ketentuan baru terkait pemilu. Ia menekankan, Aturan baru itu dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

Ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 berbunyi pemilu dilaksanakan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Aturan main yang digunakan saat ini bukan UUD 45 yang berlaku pada era Soeharto atau Habibie.

Tapi, UUD NRI 1945 pascaamandemen yang secara definitif membuat aturan baru terkait pemilu yang dilakukan setiap lima tahun sekali, tidak lebih atau kurang. Jadi, bila ada yang meminta penundaan apalagi penghentian akan bertentangan.

"Permintaan itu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan harusnya ditolak oleh pengadilan," ujar HNW.

Terlebih, PN Jakpus sudah membuat kesalahan besar saat memutus penundaan pemilu dalam kasus Partai Prima, lalu dikoreksi dan digugurkan PT DKI Jakarta. Selain itu, Mahkamah Agung (MA) perlu memberi contoh ke pengadilan-pengadilan di bawah.

"Dalam perkara kasasi Partai Prima nanti MA harus konsisten dan memberi teladan untuk menaati UUD NRI 1945 dengan tidak mengabulkan permohonan penundaan pemilu," kata HNW. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement