REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Nawir Arsyad
Sepanjang sejarah Indonesia, partai-partai Islam belum bisa bicara banyak dalam kontestasi pemilihan umum (pemilu). Ternyata, kondisi itu sudah terjadi jauh sejak pelaksanaan Pemilu 1955, dan masih belum berubah jelang Pemilu 2024.
Peneliti LSI Denny JA, Ade Mulyana mengatakan, penyebab pertama sudah terjadi ketika dilakukan depolitisasi Islam pada era Orde Baru selama 20 tahun atau 1978-1998. Berlaku secara masif dan keras pemaksaan asas tunggal Pancasila.
"Pada 1985 melalui UU Partai Politik dan UU Keormasan," kata Ade, Jumat (17/3/2023).
Saat itu, berlaku secara masif dan keras pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ditetapkan lewat Tap MPR 1978. Akibatnya, pesona partai Islam menyusut drastis dari 43 persen masa awal, terus merosot di bawah 40 persen.
Bahkan, lanjut Ade, suara partai Islam kini berpotensi di bawah 25 persen pada Pemilu 2024. Penyebab lainnya, absennya capres berlatar belakang santri yang kuat. Padahal, capres yang kuat dapat menarik dukungan pula kepada partai-partai mereka nantinya.
"Bahkan, Amien Rais di 2004 tersisih di putaran pertama," ujar Ade.
Selain itu, ia mengingatkan, hampir tidak ada inovasi-inovasi yang segar dari partai-partai islam yang mampu menambah dukungan dan pesona sejak reformasi. Sebenarnya, kondisi serupa dialami partai terbuka dan partai nasionalis.
"Tetapi, mereka memiliki capres yang kuat untuk mengangkat partai," kata Ade.
Oleh karena itu, dari survei-survei yang dilakukan LSI Denny JA beberapa waktu terakhir, mereka memprediksi partai berbasis Islam secara keseluruhan potensial menurun dukungannya. Bahkan, berpotensi paling kecil sepanjang sejarah pemilu bebas.
Berdasarkan survei yang digelar LSI Denny JA terhadap 1.200 responden pada 4-15 Januari 2023, ditemukan fakta buruknya elektabilitas partai-partai Islam. LSI Denny JA memprediksi Pemilu 2024 akan menjadi titik terendah dukungan pemilih ke partai berbasis Islam, yakni kurang dari 25 persen.
Jika dirunut ke belakang, persentase dukungan pemilih terhadap partai Islam turun dari pemilu ke pemilu. Pada Pemilu 1999, dukungan terhadap partai-partai Islam sebesar 37,4 persen, jauh dibandingkan partai nasionalis yang mendapatkan total suara 62,6 persen.
Pada Pemilu 2004, dukungan ke partai-partai Islam sempat naik sedikit menjadi 38,3 persen, jauh dari dukungan terhadap partai-partai nasionalis mencapai 61,7 persen. Pada Pemilu 2009, dukungan ke partai-partai Islam anjlok ke angka 29,2 persen, dibandingkankan raihan suara partai-partai nasionalis sebesar 70,8 persen.
Pada Pemilu 2014, dukungan ke partai-partai Islam sebesar 31,4 persen, sementara raihan suara partai nasionalis total 68,6 persen. Pada Pemilu 2019, dukungan kepada partai-partai Islam sebesar 30,1 persen, jauh dari dukungan ke partai-partai nasionalis, 69,9 persen.
Perolehan suara partai berbasis Islam tertinggi terjadi pada Pemilu 1955 dengan total 43,9 persen, sementara partai-partai nasionalis 56,1 persen. Kala itu, partai-partai Islam terdiri atas Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI dan AKUI.