Kamis 02 Mar 2023 00:03 WIB

'Belum Ada Studi Masuk Sekolah Jam 5 Pagi Tingkatkan Etos Kerja'

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan sebut belum ada studi masuk sekolah jam 5 pagi.

Rep: Febrianto A Saputro/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) mengikuti apel pagi penerapan aktivitas sekolah mulai pukul 05.00 WITA di halaman SMA Negeri I Kupang di Kota Kupang, NTT, Rabu (1/3/2023). Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan sebut belum ada studi masuk sekolah jam 5 pagi.
Foto: ANTARA FOTO/Kornelis Kaha
Sejumlah pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) mengikuti apel pagi penerapan aktivitas sekolah mulai pukul 05.00 WITA di halaman SMA Negeri I Kupang di Kota Kupang, NTT, Rabu (1/3/2023). Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan sebut belum ada studi masuk sekolah jam 5 pagi.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, mengomentari soal kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurutnya kebijakan tersebut dinilai tidak relevan jika dikaitkan dengan tujuan untuk meningkatkan etos kerja.

"Belum pernah ada studi bahwa datang sekolah jam 5 pagi bisa meningkatkan kualitas dan etos kerja. Jika ada perlu dikaji jangan-jangan tujuannya bersifat khusus misal training camp untuk kompetisi yang durasinya pendek dan hanya untuk kalangan khusus yang terlatih, seperti atlet nasional, militer dan lain-lain. Jadi tidak bersifat umum atau lintas kalangan. Padahal kebijakan gubernur bersifat luas dan mengikat semua sekolah, guru, murid secara umum," kata Rizal kepada Republika, Rabu (1/3/2023).

Baca Juga

Dosen Teknologi Informasi UGM itu menilai kebijakan hukum yang khusus tidak bisa diterapkan untuk umum. Menurutnya realisasi kebijakan tersebut tetap harus mempertimbangkan kondisi psikis dan fisik murid, termasuk kondisi keluarganya. 

"Apakah asupan gizinya cukup sebelum berangkat subuh. Siapa yang mengantarkan murid yang masih belia, bagaimana jarak rumah ke sekolah, amankah kondisi jalan yang dilewatinya saat berangkat ke sekolah," urainya.

Selain itu perlu diperhatikan juga kondisi emosi dan perasaan anak jika kebijakan tersebut diterapkan, apakah mengalami kecapekan, susah konsentrasi karena kepagian yang berujung pada traumatik belajar yang justru berdampak jangka panjang. Ditambah, kesibukan orang tua termasuk para guru yang harus mengantarkan anak-anaknya di waktu subuh.

"Kalaupun kebijakan ini bertujuan meningkatkan etos kerja dan hasil belajar, kajian studi menunjukkan bahwa etos justru dipengaruhi oleh tingkat kesadaran diri dan kondisi mental murid," ujarnya. 

Ia memaparkan, dalam riset terbaru yang dilakukan Angela Duckworth menyebutkan bahwa kesuksesan sangat dipengaruhi oleh nilai GRIT kegigihan dan kelenturan seseorang karena passion dan tujuan mulia di jangka panjang yang dimilikinya, bukan keterpaksaan dari luar.

"Pertanyaannya, apakah kebijakan untuk sekolah lebih pagi akan dimaknai positif atau justru paksaan yang dapat melemahkan GRIT atau daya juang  dan kelenturan? Perlu kajian mendalam," ucapnya.

Rizal menjelaskan, GRIT akan terjadi jika ekosistem belajar dapat mendorong antusiasme dan rasa penasaran murid untuk terus mau belajar hal baru, atau belajar yang disesuaikan pada kebutuhan dan minat murid, bukan paksaan.

Selain itu, GRIT juga tumbuh jika murid sadar akan kemampuan dan potensi dirinya melalui sistem belajar yang menyenangkan dan menyadarkan atau mindfulness. 

"Dan itu tidak harus masuk jam 5 pagi. Justru yang diperlukan kebijakan penciptaan ekosistem yang menuntun kodrat alamiah manusia agar potensi bawaannya keluar dan tumbuh optimal," tuturnya.

"Jangan-jangan sekolah terlalu pagi justru berpotensi terbunuhnya kodrat bawaan yang bisa melemahkan nilai GRIT murid atau etos kerja murid dan keinginan mereka untuk berprestasi karena kebutuhannya yang tinggi untuk menguasai sesuatu (mastery)," imbuhnya.

Baca juga : Siap-Siap Antar Anak Sekolah, Ini Tips Siapkan Dana Pendidikan

Sementara itu, Rizal berpandangan dari beberapa studi ditemukan bahwa etos dan kualitas justru membutuhkan suasana belajar yang menyenangkan, memberi ruang bagi keunikan anak dapat berkembang utuh, memberi kesempatan bagi murid menjadi dirinya hingga menemukan versi terbaiknya, bukan dipaksa dengan masuk lebih cepat. Menurutnya perlu ada uji coba terlebih dulu sebelum kebijakan itu dilakukan.

"Kalaupun kebijakan itu tetap ingin dipaksakan, perlu ujicoba dulu di beberapa sekolah pilot untuk distudi lanjut. Apakah benar sekolah sangat pagi bisa meningkatkan etos dan kualitas belajar atau justru sebaliknya? Kajian mendalam diperlukan sebagai evidence based policy sebelum menetapkan kebijakan yang berdampak luas," jelasnya.

"Karena kembali mendidik manusia dengan pendidikan yang memanusiakan jauh lebih penting dari sekedar menambah jam belajar lebih pagi, agar anak-anak Indonesia bisa terus belajar dan stay relevan dengan kebutuhan dunia di masa depan yang disruptif dan tidak menentu," tambahnya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement