REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan gugatan perkara nomor 7/PUU-XXI/2023 tidak dapat diterima. Dalam perkara ini, pemohon memohon hakim menguji Pasal 218 dan 219 KUHP yang mengatur ancaman hukuman bagi setiap orang yang menyerang martabat presiden.
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan, dipantau di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (28/2/2023).
Perkara itu diajukan oleh empat orang pemohon yang terdiri atas dua orang dosen, pembuat konten (content creator), dan mahasiswa. Mereka menggugat empat pasal pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Pasal-pasal itu meliputi Pasal 218 ayat (1) dan 219 KUHP yang mengatur ancaman hukuman bagi setiap orang yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan wakil presiden di muka umum, termasuk melakukannya dengan sarana teknologi informasi. Selain kedua pasal tersebut, para pemohon juga memohon kepada majelis hakim untuk menguji Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 241 ayat (1) KUHP.
Pasal ini mengatur tentang hukuman untuk setiap orang yang menghina kekuasaan umum atau lembaga negara di muka umum, termasuk melakukannya dengan sarana teknologi informasi. Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa KUHP tersebut baru akan berlaku tiga tahun lagi, yakni pada 2 Januari 2026.
Oleh sebab itu, MK menilai hak konstitusional para pemohon belum berkaitan dengan pasal-pasal KUHP yang digugat dan belum menimbulkan kerugian konstitusional kepada mereka, baik kerugian secara potensial (di masa depan) maupun aktual (saat ini).
Penilaian itu berdasarkan anggapan 'kerugian konstitusional' yang dimaksud dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007. Anggapan ini membuat majelis hakim konstitusi memutuskan tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan dalam perkara ini. "Pokok permohonan para pemohon adalah prematur," ujar Anwar.