Jumat 27 Jan 2023 07:38 WIB

Di Sidang MK, PDIP: Sistem Proporsional Terbuka Ladang Subur Oligarki Politik

Di sidang, PDIP sebut sistem proporsional terbuka jadi ladang subur oligarki politik.

Rep: Febryan A/ Red: Bilal Ramadhan
Sebanyak delapan partai politik yang ada di parlemen, kecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menyampaikan lima sikap penolakannya terhadap sistem proporsional tertutup, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Ahad (8/1/2023). Di sidang, PDIP sebut sistem proporsional terbuka jadi ladang subur oligarki politik.
Foto: Nawir Arsyad Akbar/Republika
Sebanyak delapan partai politik yang ada di parlemen, kecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menyampaikan lima sikap penolakannya terhadap sistem proporsional tertutup, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Ahad (8/1/2023). Di sidang, PDIP sebut sistem proporsional terbuka jadi ladang subur oligarki politik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi PDIP DPR RI menyampaikan keterangan berbeda dengan delapan fraksi lain dalam sidang uji materi pemilihan legislatif (Pileg) sistem proporsional terbuka di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (26/1/2023).

PDIP mendukung penerapan kembali sistem proporsional tertutup karena sistem proporsional punya banyak dampak negatif. PDIP mengatakan, sistem proporsional terbuka mengakibatkan kemunduran demokrasi karena memunculkan praktik politik uang, liberalisasi demokrasi, demokrasi transaksional, dan pengondisian demokrasi.

Baca Juga

Semua itu terjadi karena dalam sistem proporsional terbuka kompetisi bersifat personal antarcaleg, bukan antarpartai. "Keadaan demikian akan menjadi ladang subur bagi praktik oligarki politik, karena sistem pemilu yang begitu rumit serta berbiaya tinggi mengakibatkan hanya segelintir orang atau kelompok saja yang mampu berkontestasi dan terpilih," kata Arteria.

"Hanya mereka yang memiliki kapital yang besar dan kekuasaan yang besar saja yang mampu untuk survive (dalam sistem proporsional terbuka)," imbuhnya.

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen.

Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019. Pakar menilai kelemahan sistem ini adalah maraknya praktik politik uang. Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai.

Pemenang kursi anggota DPR ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. Kelemahan sistem ini menurut pakar adalah memperkuat kuasa elite partai.

Lebih lanjut, Arteria mengatakan, sistem proporsional terbuka berimplikasi pada banyaknya kebutuhan petugas penyelenggara pemilu serta sarana prasarana pemilu karena desain surat suara berbeda di setiap dapil. Di sisi lain, para caleg juga menggelontorkan uang besar untuk kampanye demi meraup suara besar secara personal.

"(Sistem proporsional terbuka) tidak hanya menjadi beban negara saja, namun juga menjadi beban parpol maupun para caleg. Hal tersebut menjadi bibit lahirnya koruptif para wakil rakyat," ujarnya.

Selain soal dampak buruk dari sisi pendanaan, Arteria juga menyampaikan berbagai dampak negatif sistem proporsional terbuka terhadap pemilih dan penyelenggara.

Dengan semua kelemahan sistem tersebut, menurut dia, Fraksi PDIP meminta MK mengabulkan permohonan uji materi ini alias kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Pandangan Fraksi PDIP ini merupakan satu rangkaian keterangan resmi DPR RI. Dalam keterangan yang sama, delapan fraksi DPR lainnya berpandangan bahwa sistem proporsional terbuka harus dipertahankan.

Pandangan delapan fraksi itu berkebalikan dengan PDIP. Mereka mengungkit semua keburukan sistem proporsional tertutup sembari menampilkan keunggulan sistem proporsional terbuka. Delapan fraksi ini lantas meminta MK menolak gugatan uji materi ini.

Sementara itu, Presiden Jokowi lewat kuasa hukumnya juga menyampaikan keterangan yang pada intinya meminta MK tidak mengubah sistem pileg karena tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Jika tetap dilakukan, Presiden khawatir bisa memunculkan gejolak sosial dan politik.

MK sendiri mengaku masih butuh keterangan tambahan sebelum memutuskan perkara ini. MK akan melanjutkan sidang pada 9 Februari 2023 mendatang dengan agenda mendengar keterangan tambahan dari Presiden, DPR, dan pihak terkait KPU.

Sebagai informasi, gugatan uji materi sistem proporsional terbuka ini dilayangkan oleh enam warga negara perseorangan, yang salah satunya merupakan kader PDIP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement