REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari (Tobas) memandang tidak ada sistem pemilu yang ajeg dan konstan di seluruh dunia.
Hal ini ia sampaikan sebagai respons terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024. Tobas menilai putusan itu bisa menimbulkan krisis konstitusional dan mengunci ruang perkembangan sistem pemilu ke depan.
"Sistem pemilu mestinya harus terbuka pada perkembangan zaman. Contohnya, apabila ternyata secara teknologi kita telah mampu menggunakan e-voting pada pemilu 2029, apakah persoalan yang diputus dalam Putusan MK dan Amar Putusan MK masih relevan?" kata Tobas dalam keterangannya pada Senin (7/7/25)
Putusan MK No. 135 tersebut memutuskan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan anggota DPRD dilaksanakan dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden atau anggota DPR dan DPD.
Tapi Tobas menilai amar putusan tersebut malah menimbulkan persoalan konstitusional yang sangat krusial. Sebab berpotensi melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 baik jika putusan tersebut dilaksanakan maupun tidak dilaksanakan.
Sehingga menurut Tobas apabila Putusan MK itu dijalankan oleh pembuat undang-undang, maka bisa terjadi pelanggaran terhadap Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan pemilihan umum harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan bahwa anggota DPRD harus dipilih melalui pemilu.
"Apabila pemilu DPRD ditunda hingga dua tahun atau lebih dari masa jabatan lima tahun, maka akan terjadi masa jabatan anggota DPRD yang tidak memiliki legitimasi demokratis. Ini inkonstitusional, karena mereka menduduki jabatan politik tanpa dipilih rakyat," ujar Tobas.
Sebaliknya, jika Putusan MK tersebut tidak dilaksanakan, maka pembentuk undang-undang yaitu Presiden dan DPR dinilai melanggar Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Tobas juga mengingatkan potensi jabatan inkonstitusional apabila masa jabatan anggota DPRD diperpanjang tanpa pemilu. Menurutnya, sistem demokrasi tidak membenarkan adanya jabatan politik yang ditentukan melalui perpanjangan administratif, karena konstitusi hanya mengakui pemilu sebagai satu-satunya jalur menuju jabatan DPRD.
"Anggota DPRD tidak boleh diangkat, ditunjuk, atau diperpanjang secara administratif. Mereka hanya sah bila dipilih rakyat," ucap Tobas.
Jika opsi lain yang diambil adalah mengosongkan DPRD selama masa transisi tersebut, maka pemerintah daerah akan beroperasi tanpa DPRD. Hal ini menurut Tobas melanggar konstitusi karena Pasal 18 ayat (3) menyebutkan pemerintahan daerah memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilu.
Selain itu, Tobas mengkritisi substansi amar Putusan MK yang dinilainya terlalu teknis. Menurutnya, amar putusan tersebut memuat jadwal dan skema penyelenggaraan pemilu secara eksplisit, yang seharusnya merupakan ranah pembuat undang-undang, bukan Mahkamah Konstitusi.
"Amar putusan yang memuat teknis pelaksanaan pemilu akan mengunci alternatif lain yang dapat saja terbuka untuk didiskusikan. Ini berpotensi menutup ruang bagi pembuat undang-undang untuk merumuskan kebijakan yang sesuai perkembangan teknologi dan dinamika politik," ucap Tobas.
Tobas menyebut sistem pemilu haruslah adaptif dan tidak dibakukan melalui putusan yang rigid. Menurutnya, hal-hal teknis seharusnya dibahas melalui proses legislasi yang melibatkan publik, DPR, dan pemerintah.
"Kita dihadapkan pada situasi di mana melaksanakan atau tidak melaksanakan Putusan MK sama-sama berpotensi melanggar konstitusi. Ini jelas bisa mengarah pada krisis konstitusional. Oleh karena itu, kita perlu segera mencari solusi konstitusional yang bijak dan tidak keluar dari rel hukum dasar kita," ucap Tobas.