Rabu 25 Jan 2023 16:12 WIB

Pakar: MK Harus Pikirkan Dampaknya Jika Putuskan Sistem Proporsional Tertutup

Pakar sebut MK harus memikirkan dampaknya jika putuskan sistem proporsional tertutup.

Rep: Febryan A/ Red: Bilal Ramadhan
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro sebut MK harus memikirkan dampaknya jika putuskan sistem proporsional tertutup.
Foto: Republika/Mimi Kartika
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro sebut MK harus memikirkan dampaknya jika putuskan sistem proporsional tertutup.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Siti Zuhro meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menimbang dampak politik yang akan muncul ketika hendak memutuskan perkara uji materi sistem proporsional terbuka.

Sebab, Siti meyakini akan muncul resistensi yang tinggi apabila MK memutuskan pemilihan legislatif (Pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Baca Juga

Siti menjelaskan, resistensi bakal tinggi karena pengubahan sistem pemilu terjadi saat tahapan Pemilu 2024 sedang berlangsung. Apalagi, penerapan sistem baru butuh waktu agar bisa berjalan efektif.

Selain itu, saat ini kalangan akademisi, aktivis, dan bahkan partai politik sudah banyak yang menolak penerapan kembali sistem proporsional tertutup. Resistensi kuat diyakini bakal datang dari delapan parpol parlemen yang sudah menyatakan menolak sistem tersebut.

Karena itu, MK diminta menimbang resistensi yang akan muncul ketika hendak membuat keputusan. "Menurut saya MK itu buka mata lebar-lebar, lapangan dada, buka pikiran. Pikirkan dampaknya sebelum mengetok palu untuk menerima atau mengesahkan sistem proporsional tertutup. Serius menurut saya dampaknya," kata Siti, Selasa (24/1/2023).

MK akan menggelar sidang lanjutan atas gugatan uji materi sistem pileg ini pada Kamis (26/1/2023). Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan perkara itu, MK akan meminta keterangan DPR, Presiden, dan pihak terkait KPU.

Gugatan uji materi atas Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pemilihan legislatif (Pileg) menggunakan sistem proporsional terbuka, dilayangkan oleh enam warga negara perseorangan.

Para penggugat, yang salah satunya merupakan kader PDIP, meminta hakim konstitusi memutuskan sistem proporsional terbuka melanggar UUD 1945, dan memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Menyikapi gugatan tersebut, partai politik terpecah ke dalam dua kubu. Kubu penolak sistem proporsional tertutup terdiri atas delapan partai parlemen, mulai dari Golkar, Gerindra, Nasdem hingga PKS. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai non-parlemen turut menolak sistem tersebut.

Sedangkan kubu pendukung sistem proporsional tertutup digawangi oleh PDIP. Partai non-parlemen seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Buruh turut mendukung penerapan sistem coblos partai ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement