REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Divisi Propam Polri menindaklanjuti dugaan intervensi yang dilakukan oknum penyidik, terkait pengaduan warga bernama John Hamenda. Surat tersebut nomor B/2245b/X/WAS.2.4/2022/Divpropam. Dalam surat itu menjelaskan perkembangan pengaduan yang dilakukan oleh Jhon Hamenda, terkait adanya dugaan mafia tanah ke Bareskrim Polri.
“Hari ini saya mendapatkan, diberitahu di suratnya itu sudah diambil alih oleh internal Divpropam Polri,,” ujar Hamenda di Jakarta Selatan, Selasa (18/10/2022).
Hamenda mengaku telah melaporkan kasus mafia tanah ke Bareskrim Polri pada 15 April 2019 silam ke Bareksrim Polri atas dugaan pemalsuan dan penggelapan dengan nomor laporan LP/B/0386/IV/2019/BARESKRIM. Kemudian penyidik memeriksa sejumlah saksi termasuk dirinya. Hanya saja, kasus yang dilaporkannya harus kandas di tengah jalan, karena dianggap bukan tindak pidana.
Kendati demikian, Hamenda tak menyerah, ia berkirim bersurat ke Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 2021 untuk memohon perlindungan hukum. Lalu, Kapolri memerintahkan jajarannya untuk segera melanjutkan penanganan kasusnya tersebut. Akan tetapi masih belum menunjukkan hasil yang signifikan lantaran diduga ada intervensi oknum anggota.
"Saya minta kasus saya ini dibuka sejujurnya. Jika tidak ada pidana ya sudah selesai tidak perlu diperpanjang. Tapi kalau ada pidana saya berharap tidak ditutupi saya berharap dibuka sejalan-jelasnya," tutur Hamenda
Dalam kasus ini, Hamenda menceritakan, berawal dari dia menitipkan sertifikat tanah 5,2 hektare kepada lima orang perwakilan rekan bisnisnya. Sertifikat tanah itu dititipkan sebagai jaminan atas uang investasi lima rekannya kepada John untuk berbisnis di bidang pertanian di wilayah Sulawesi Tengah.
Menurut Hamenda penitipan itu disertai dengan membuat perjanjian pengikat jual beli (PPJB) dengan tujuan agar para investor dapat menjual sertifikat tersebut untuk pengembalian dana para investor dan sisanya dikembalikan ke keluarga John. Namun, sertifikat itu justru dijual atau dialihkan tanpa sepengetahuan John pada 2013 kepada salah seorang dari kelima investor tersebut.
"Saya tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan seluruh akta tersebut. Saya baru tahu 2016," keluh Hamenda.
Lanjut Hamenda, sertifikat dan tanah itu dijual lagi oleh bisnisnya kepada seseorang. Mengetahui peristiwa, ia langsung melaporkan ke Polresta Manado atas dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan. Laporan itu teregistrasi dengan nomor laporan LP/223/I/2016/SULUT/RestaManado tertanggal 29 Januari 2016. Tetapi laporan itu tidak bisa dilanjutkan polisi dengan alasan tidak kuat diranah hukum pidana.
"Diproses lanjut (laporannya) tiba-tiba (polisi menyebut) pidananya tipis kuatnya di perdata," kata Hamenda
Kemudian, Hamenda diminta menghadap Kapolda Sulut untuk meminta penjelasan kasus itu. Namun justru ia diminta untuk melakukan mediasi yang berujung SP3. Hamenda kembali melaporkan peristiwa itu ke Bareskrim dan lagi-lagi berakhir dengan penghentian penyidikan lantaran dinilai bukan tindak pidana. Sehingga pada Selasa (18/10/2022) ia mendapat asistensi dari Divisi Propam Mabes Polri.
Walhasil Hamenda berharap kasusnya itu dapat segera diselesaikan. Tentunya dengan harapan haknya atas sertifikat tanah tersebut dapat kembali. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak ingin memenjarakan seseorang tapi hanya ingin menuntut haknya yang dicuri bisa kembali sepenuhnya.
"Saya bukan mau menjarain, saya cuma mau tuntutan saya sertifikat itu aja dikembalikan," tegas Hamenda.
Sementara, Kadiv Propam Polri Irjen Syahardiantono belum bisa dihubungi untuk dimintai keterangan terkait pengambilalihan kasus ini internal Divpropam Polri. Sehingga belum diketahui apa bentuk intervensi oknum penyidik terhadap kasus dugaan pemalsuan dan penggelapan yang berakibat mandeknya penyidikan.