Jumat 22 Jul 2022 15:39 WIB

Kejagung Sebut Kerugian di Kasus Dugaan Korupsi Ekspor CPO Capai Rp 20 T

Jumlah kerugian negara didapat Kejagung dari hasil penghitungan BPKP.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Supardi menjawab pertanyaan wartawan di gedung Kejakgung, Selasa (28/9).
Foto: Bambang Noroyono/REPUBLIKA
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Supardi menjawab pertanyaan wartawan di gedung Kejakgung, Selasa (28/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penghitungan kerugian dugaan korupsi pemberian fasilitas persetujuan ekspor (PE) minyak mentah kelapa sawit (CPO) oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2021-2022 mencapai kurang lebih Rp 20 triliun. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Supardi mengatakan, nilai tersebut, akan menjadi acuan bagi tim penyidiknya dalam penguatan bukti-bukti untuk menuntaskan kasus tersebut ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor).

Supardi menerangkan, angka Rp 20 triliun itu dari hasil penghitungan Badan Pengawas Keuanga dan Pembangunan (BPKP) yang disampaikan ke Kejaksaan Agung (Kejagung), Rabu (20/7/2022) . “Sudah disampaikan. Itu ada tiga kategori kerugiannya. Itu total kurang lebih sekitar (Rp) 20 T (triliun),” ujar Supardi, di Kejagung, Jakarta, Jumat (22/7/2022).  

Baca Juga

Menurut Supardi, tiga kategori kerugian tersebut, terkait dengan dua sangkaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor yang menjerat lima tersangka yang sudah ditetapkan oleh penyidik di Jampidsus saat ini. Kategori sangkaan kerugian negara, mencapai Rp 6 triliun. Namun, tim penyidik juga menebalkan adanya kerugian perekonomian negara atas penerbitan PE CPO kepada swasta tersebut, yang nilainya mencapai kurang lebih Rp 12 triliun. 

“Lalu ada yang disebut ilegal gain, atau pendapatan yang tidak sah, itu ada sekitar (Rp) 2 T. Jadi totalnya (kerugian) kurang lebih sekitar (Rp) 20 T,” terang Supardi.

Menurut dia, setelah adanya angka acuan kerugian dalam dugaan korupsi PE CPO tersebut, tim penyidikannya akan segera merampungkan pemberkasan kasus, untuk segera dilimpahkan ke tim penuntutan. Bulan lalu, kata Supardi, tim penyidikannya, sebetulnya sudah melakukan tahap-1 pelengkapan berkas lima tersangka untuk diteliti oleh jaksa penuntut.

Akan tetapi, proses tahap satu tersebut, stagnan karena menunggu hasil resmi penghitungan kerugian dari BPKP. Pun, sejumlah penambahan alat-alat bukti juga dilakukan. Sebab itu, dikatakan Supardi, proses pemeriksaan saksi-saksi untuk memperkuat bukti, dan kronologis perbuatan melawan hukum para tersangka, masih terus berlangsung di Gedung Bundar di Jampidsus.

“Setelah ini, untuk segera kita limpahkan kembali ke tim penuntutannya, semoga cepat sebelum akhir bulan ini,” ujar Supardi.

Dalam penyidikan dugaan korupsi PE CPO di Kemendag ini, Jampidsus-Kejakgung menetapkan lima orang tersangka. Yakni, Indrasari Wisnu Wardhana (IWW) yang ditetapkan tersangka selaku Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Perdaglu) di Kemendag. Lin Che Wei (LCW) yang ditetapkan tersangka selaku konsultan, dan staf ahli menteri, yang terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan penerima PE. 

Tersangka lainnya, Master Parulian Tumanggor (MPT), yang ditetapkan tersangka selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia. Stanley MA (SMA) yang ditetapkan tersangka selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG). Dan Pierre Togar Sitanggang (PTS), yang ditetapkan tersangka selaku General Manager di Bagian General Affair pada PT Musim Mas. Kelimanya sudah ditahan sejak diundangkan menjadi tersangka pada April dan Mei 2022 lalu.

Kasus dugaan korupsi PE CPO ini, merupakan respons hukum Kejakgung atas situasi nasional terkait kelangkaan dan pelambungan harga minyak goreng yang dialami masyarakat rentang periode Desember 2021 sampai Maret 2022. Disebutkan kelangkaan dan pelambungan harga minyak goreng itu, disebabkan para perusahaan produsen CPO yang tak memenuhi kewajiban pengalokasian 20 persen produksi minyak gorengnya untuk kebutuhan dalam negeri. ‘

Kewajiban pengalokasian 20 persen tersebut, sebagai syarat dalam penerbitan PE CPO oleh Kemendag. Namun sebaliknya, perusahaan-perusahaan CPO yang mengabaikan pemenuhan kebutuhan nasional itu, mengajukan dan mendapatkan izin ekspor minyak goreng ke luar negeri. Hal tersebut membuat para produsen CPO melepas semua produksinya ke pasar ekspor, yang berdampak pada kelangkaan, dan berujung pada meningkatnya harga minyak goreng di dalam negeri.  

 

photo
Negara produsen minyak terbesar dunia. - (Tim infografis Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement