REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Sultan B Najamudin, mempertanyakan kebijakan subsidi minyak goreng yang dilakukan pemerintah. Ia menilai, pemberian subsidi bukan menjadi solusi atas kelangkaan minyak goreng saat ini.
"Kelangkaan minyak goreng di pasar negara penghasil CPO dan kelapa sawit terbesar dunia merupakan kebijakan yang jelas patut dipertanyakan dan bisa disebut keliru. Subsidi ini mengonfirmasi, keberadaan minyak goreng tidak benar-benar langka, tapi dikarenakan terdapat kartel yang melakukan penyelundupan atau mengekspor, akibat harga CPO global yang terus meningkat", kata Sultab dalam keterangan tertulisnya, Rabu (16/3/2022).
Menurutnya, kelangkaan minyak goreng merupakan akibat kesalahan manajemen distribusi dan lemahnya pengaruh kebijakan domestic market obligation (DMO) minyak sawit pemerintah yang diberlakukan kepada pengusaha CPO. Menurutnya pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk mengendalikan pengusaha sawit dan CPO yang bekerja dengan sistem kartel.
"Sebagai pengekspor minyak sawit nomor satu, Indonesia harus menjadi price maker komoditas strategis ini di pasar ekspor dan khususnya pasar domestik. Dengan kebijakan DMO seharusnya harga pasar domestik tidak boleh disesuaikan oleh harga pasar global. Negara tidak boleh kalah dengan pelaku bisnis kartel yang merugikan masyarakat", ujarnya.
Dirinya ingin pemerintah bersikap tegas memberlakukan aturan DMO 30 persen dan memastikan semua lembaga pangan nasional berkolaborasi untuk mengawasi proses distribusi minyak goreng. Harga CPO dan minyak goreng juga harus diatur di dalam DMO.
"Sangat naif jika negara dan masyarakat harus membayar minyak goreng pelaku usaha sawit dan CPO yang selama sudah melakukan ekspansi perkebunan sawit secara tidak seimbang dan merusak biodiversitas hutan Indonesia dengan harga pasar ekspor. Kami harap satuan tugas pangan untuk mengawasi proses distribusi minyak goreng di setiap daerah", tutupnya.
Diketahui, pemerintah akhirnya menaikkan harga eceran tertinggi untuk minyak goreng curah, dari sebelumnya Rp 11.500 per liter menjadi Rp 14 ribu per liter.
"Pemerintah memutuskan memberikan subsidi Rp 14 ribu per liter curah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, seusai mengikuti rapat kabinet terbatas, Selasa (15/3/2022).