Senin 28 Feb 2022 12:36 WIB

Soal Jutaan Vaksin akan Kedaluwarsa, Legislator Minta Percepatan Vaksinasi

Ada 18 juta dosis vaksin yang akan kadaluarsa pada akhir Februari 2022.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Gita Amanda
Seorang petugas kesehatan menunjukkan tanggal kedaluwarsa vaksin COVID-19. Ada 18 juta dosis vaksin yang akan kadaluarsa pada akhir Februari 2022.
Foto: EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Seorang petugas kesehatan menunjukkan tanggal kedaluwarsa vaksin COVID-19. Ada 18 juta dosis vaksin yang akan kadaluarsa pada akhir Februari 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menanggapi kabar 18 juta dosis vaksin yang akan kadaluarsa pada akhir Februari 2022. Vaksin ini adalah jenis vaksin hibah dari negara-negara maju yang disalurkan ke beberapa negara di Afrika maupun Indonesia.

Mufida meminta mata rantai proses penerimaan, distribusi, penyimpanan hingga penyuntikan dievaluasi dengan mempertimbangan tanggal kadaluarsa vaksin. Ia meminta jangan sampai jumlah dosis vaksin kadaluarsa bertambah banyak karena anggaran negara sudah digunakan dalam proses penerimaan, distribusi hingga penyimpanan.

Baca Juga

"Meskipun vaksinnya gratis tapi proses dari diterima, distribusi hingga penyimpanan memakai anggaran negara. Kalau akhirnya kadaluarsa dan tidak bisa digunakan bisa mubazir sekaligus pemborosan anggaran negara. Harus dipertimbangkan mata rantai hingga proses vaksinasi dari sisi kadaluarsanya," kata Mufida dalam keterangan pers, Senin (28/2/2022).

Mufida mendesak perlunya strategi percepatan vaksinasi. Sebab hingga 27 Februari 2022, baru 9 provinsi yang sudah mencapai vaksin lengkap dua dosis. "Secara nasional saja kita masih kurang sedikit untuk vaksin lengkap dua suntikan baru 69 persen. Bahkan ada tiga provinsi yang cakupan vaksin dosis pertamanya di bawah 70 persen yakni Maluku, Papua Barat dan Papua. Artinya masih ada warga negara Indonesia yang masuk dalam program vaksin tapi belum mendapat satupun dosis vaksin," ujar politikus PKS itu.

Mufida juga menyebut percepatan vaksinasi bisa dilakukan dengan beberapa cara. Salah satunya jenis vaksin yang mendekati kadaluarsa bisa digunakan sebagai vaksin booster yang capaiannya baru 4,7 persen secara nasional.

"Kemarin sudah ada percepatan untuk Lansia vaksin booster cukup menunggu tiga bulan sejak vaksin kedua tidak harus enam bulan. Ini bisa dikaji untuk petugas publik dan kelompok rentan lainnya bisa tidak cukup tiga bulan jaraknya untuk booster. Tapi ini harus melalui kajian sains dan kesehatan, jika memungkinkan kenapa tidak dilakukan," ucap Mufida.

Strategi kedua guna menghindari kemubaziran, lanjut Mufida adalah realistis dengan mempertimbangkan distribusi dan penyimpanan ke-34 provinsi yang medan dan kesiapan tenaga vaksinator tak sama.

"Negara-negara Afrika saja berani menolak saat mau diberikan vaksin gratis yang tanggal kadaluarsanya tidak lama lagi dengan alasan realistis. Kita juga seharusnya bisa mengukur kemampuan penggunaan Vaksin agar tak terjadi kemubaziran. Vaksin ini bukan hal yang baru, seharusnya kita bisa lebih berpengalaman. Mampu tidak mengjangkau wilayah yang luas dengan waktu yang tersedia. Ini persoalannya dengan penggunaan anggaran negara. Kalau memang tidak mampu berani untuk menolak," ucap Mufida.

Mufida juga meminta untuk daerah-daerah yang cakupannya masih kecil agar dilakukan pendekatan sesuai kulturalnya dan komunikasi intensif kepada tokoh masyarakat. "Butuh pendekatan persuatif dan intensif memang akhirnya butuh ketelatenan. Seperti di Papua masih minim sekali capaiannya bisa lakukan dengan pendekatan kultur," sebut Mufida.

Sebelumnya, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengingatkan semua pihak untuk tidak menyia-nyiakan vaksin Covid-19. Wiku mengatakan, vaksin Covid-19 saat ini masih menjadi barang terbatas dibandingkan jumlah kebutuhan dosis vaksin dari seluruh negara di dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement