Sabtu 13 Mar 2021 16:25 WIB

Pilkada 2024, Pengamat Soroti Legitimasi Kepala Daerah

Burhanuddin menilai kepala daerah tak punya legitimasi jika pilkada diundur 2024.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Eksekutif Indikator Burhanudin Muhtadi
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Direktur Eksekutif Indikator Burhanudin Muhtadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanudin Muhtadi mengungkapkan sejumlah implikasi yang muncul akibat dicabutnya revisi UU Pemilu dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021. Salah satunya yang ia soroti yaitu persoalan legitimasi penjabat di sejumlah daerah.

"Kalau misalnya pilkada ditarik 2024, itu ada 270 lebih penjabat, PLT (pelaksana tugas) yang kita tahu mereka tidak punya legitimasi karena tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Nah bagaimana mungkin kita memberikan mandat kepada penjabat apalagi dalam waktu dua tahun sampe 2024, sementara mereka bukan penjabat by election, mereka penjabat by selection," kata Burhanuddin dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (13/3). 

Baca Juga

Apalagi menurutnya, kepala daerah yang masa jabatannya habis antara 2022-2023 terjadi di daerah-daerah besar seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, hingga Sumatera Utara. Ia berpendapat jika daerah-daerah tersebut diisi oleh penjabat gubernur yang memiliki kecenderungan partisan, maka hal itu berpotensi menguntungkan partai penguasa. 

"Jadi kalau ada persepsi penjabat itu menguntungkan pihak-pihak tertentu, munculnya persepsi saja itu sudah merugikan legitimasi pemilu, apalagi mereka punya waktu yang lama sekali dua tahun," ujarnya.

Selain itu, dikatakan Burhanudin, kewenangan seorang penjabat sangatlah terbatas. Seorang penjabat dianggap tidak punya kewenangan yang signifikan dalam membuat sebuah kebijakan.

"Dalam waktu dua tahun nggak mungkin mereka hanya sekedar formalitas seremonial saja," ucapnya. 

Kemudian dirinya juga menyoroti soal legitimasi pileg dan pilpres 2024. Ia berpendapat, jika penjabat ditentukan oleh presiden dan mendagri maka pertanyaan yang muncul yaitu terkait ada tidaknya partai yang diuntungkan secara elektoral. Apalagi menjelang masa krusial 2024.

"Tentu ada dugaan politis bahwa penjabat gubernur, bupati/walikota akan menguntungkan pihak tertentu. Satu prasangka yang nggak bisa disalahkan. Nah kalau misalmya prasangka itu meluas orang bisa mempertanyakan legitimasi hasil pemilu 2024, nah itu problem gitu ya," jelasnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement