REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi pandemi Covid-19 terkini dan kekhawatiran terhadap potensi pelanggaran protokol kesehatan membuat sejumlah pihak mendesak penundaan tahapan Pilkada 2020. Akan tetapi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejauh ini masih melanjutkan tahapan pilkada sesuai Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada 2020.
"Saat ini kami KPU masih berpedoman pada PKPU Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan," ujar Komisioner KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi saat dikonfirmasi Republika terkait opsi penundaan pilkada, Ahad (20/9).
Sebelumnya, ia mengatakan, penetapan penundaan pilkada tidak diputuskan oleh KPU saja. Ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan UU Pilkada, mengharuskan persetujuan penundaan pilkada antara tiga pihak, yakni KPU, pemerintah, dan DPR.
"Saya kira tentang opsi penundaan sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 mekanismenya siapa para pihak yang kemudian diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk mengambil keputusan itu," kata Raka, Selasa (15/9).
KPU saat ini masih melakukan verifikasi dokumen perbaikan syarat calon kepala daerah. KPU akan mengumumkan pasangan calon yang memenuhi syarat atau penetapan pasangan calon Pilkada 2020 pada 23 September, dilanjutkan dengan pengundian nomor urut pada 24 September.
Selain pegiat pemilu, desakan penundaan pilkada juga datang dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). PBNU menyampaikan secara resmi usulan penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah masa pandemi Covid-19 yang diteken Ketua Umum KH Said Aqil Siroj serta Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini.
Dalam edaran tersebut, PBNU meminta KPU, pemerintah, serta DPR menunda pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati. "Pelaksanaan pilkada, sungguh pun dengan orotokol kesehatan yang diperketat, sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak dalam seluruh tahapannya," tertulis dalam surat tersebut yang dilansir Ahad.
Sejumlah alasan dijadikan dasar penolakan tersebut. Di antaranya, mobilisasi massa sukar dihindarkan dalam tahapan pilkada. Fase pendaftaran lalu dinilai telah membuktikan hal tersebut. Selain itu, telah muncul juga klaster-klaster penularan terkait pilkada sejauh ini.
PBNU kemudian meminta pihak berwenanang untuk merealokasikan anggaran pilkada bagi penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman nasional. Selain itu, PBNU juga menyinggung Rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 di Cirebon soal perlunya proses pilkada ditinjau ulang mengingat kemudharatan yang diimbulkan.
Kekhawatiran soal potensi penularan Covid-19 melalui pilkada muncul saat proses pendaftaran Pilkada 2020 yang berakhir 6 September lalu. Sebanyak 243 bakal calon kedapatan melanggar protokol kesehatan dan menimbulkan kerumumunan.