Ahad 20 Sep 2020 17:36 WIB

Perludem: Keputusan Penundaan Pilkada Bisa Libatkan Satgas

Untuk kembali menunda pilkada bisa menggunakan data kasus Covid yang dimiliki Satgas.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini.
Foto: Republika/Mimi Kartika
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai, penundaan pilkada dapat dilakukan melalui keputusan politik antara KPU, pemerintah, dan DPR sesuai ketentuan Undang-Undang (UU) tentang Pilkada. Ketiganya dapat melibatkan pertimbangan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 berdasarkan situasi pandemi Covid-19 terkini.

"Tahapan pilkada bisa dilakukan penundaan kembali bila ada pertimbangan Gugus Tugas (Satgas, red) atau pihak yang punya otoritas terkait penanganan Pandemi Covid-19 yang pertimbangan itu lalu diaminkan oleh KPU, Pemerintah, dan DPR," ujar Titi kepada Republika, Ahad (20/9).

Baca Juga

Titi menjelaskan, penundaan pemungutan suara dari September ke Desember diputuskan oleh KPU melalui persetujuan pemerintah dan DPR. Dalam Pasal 201A UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang perubahan UU Pilkada, penundaaan tahapan pilkada dapat dilakukan kembali karena pemungutan suara tidak bisa digelar pada Desember lantaran pandemi Covid-19 belum berakhir.

Namun, kalimat belum berakhir yang diatur dalam ketentuan Pasal 201A ayat (3) UU 6/2020 menjadi tidak terukur saat ini. Semestinya KPU menyusun Peraturan KPU khusus yang menerjemahkan indikator atau parameter tahapan pilkada bisa ditunda atau dilanjutkan terkait keberadaan Pasal 120, 122A, dan 201A UU 6/2020.

Dalam praktik sebelumnya, kata Titi, KPU mempertimbangkan surat Ketua Gugus Tugas pada Mei lalu, yang menyatakan tahapan Pilkada 2020 bisa dilanjutkan di tengah pandemi Covid-19 dengan syarat setiap pihak harus mematuhi protokol kesehatan. Hal ini mengingat kondisi pandemi belum jelas waktu berakhirnya.

"Maka untuk kembali menunda mestinya juga bisa menggunakan data kasus infeksi yang dirilis oleh Satgas. Apalagi kondisi saat ini jauh lebih buruk dibandiingkan saat pilkada diputuskan dilanjutkan pada 27 Mei lalu," tutur Titi.

Ia melanjutkan, pertimbangan penundaan pilkada tentu berdasarkan kondisi pandemi Covid-19 yang belum bisa dikendalikan dan meningkatnya penambahan kasus konfirmasi positif Covid-19 harian. Sedangkan, jumlah pelanggaran protokol kesehatan oleh aktor politik maupun masyarakat juga tinggi.

Keputusan politik untuk menunda pilkada bukan berarti tidak berlandaskan hukum. Menurut Titi, justru kondisi objektif hari ini membuat logis jika keputusan penundaan pilkada dibuat oleh KPU, pemerintah, dan DPR sesuai ketentuan Pasal 201A ayat (3) UU 6/2020.

"Keputusan politik di sini maksud saya mengacu pada ketentuan yang ada di dalam mekanisme penundaan pilkada sebagaimana diatur dalam Pasal 122A UU Nomor 6 Tahun 2020 yang mensyaratkan persetujuan bersama KPU, Pemerintah, dan DPR," kata Titi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement