REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak mau mencampuri urusan pemerintah yang berencana melakukan bailout PT Asuransi Jiwasraya. BPK dan Kejakgung hanya ingin menuntaskan proses penegakan hukum atas kasus dugaan korupsi dan pencucian uang (TPPU) PT Asuransi Jiwasraya.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, tugas auditor negara hanya sebatas menjadi pemeriksa keuangan Jiwasraya. Pemeriksaan tersebut, pun kata dia, sudah rampung setelah penyerahan angka pasti penghitungan kerugian negara (PKN) ke Kejakgung, Senin (9/3).
"Soal rencana pemerintah (memberikan bailout) penyelamatan Jiwasraya, kita (BPK) tidak masuk ke dalam itu," ujarnya di Kejakgung, Jakarta, Senin (9/3).
Agung melanjutkan, hasil audit investigasi dan PKN tersebut, menjadi kewenangan Kejakgung untuk menindaklanjuti atau tidak dari temuan BPK. "Kami (BPK) tidak dalam posisi mengomentari apa yang direncanakan oleh pemerintah. Kami hanya melakukan tugas dan wewenang kami. Dan tugas wewenang kami, adalah melakukan pemeriksaan," jelasnya.
Dalam penyampaian hasil PKN ke Kejakgung, BPK menyebutkan adanya kerugian negara sebesar Rp 16,81 triliun dalam skandal Jiwasraya. Terkait kerugian negara itu, pemerintah pekan lalu mengaku menyiapkan tiga opsi penyelamatan Jiwasraya. Salah satunya, lewat pemberian bantuan pemerintah. Nominalnya, sempat disebutkan di angka Rp 15 triliun. Opsi penyelematan lainnya juga direncanakan lewat bailin, atau permintaan dukungan dari para pemilik saham Jiwasraya. Atau opsi lain, berupa likuidasi, dengan pembubaran Jiwasraya. Akan tetapi, keputusan tentang tiga langkah penyelematan tersebut, belum dapat diputuskan.
Namun, apapun opsi penyelematan Jiwasraya tersebut, Kejakgung dalam penyidikannya, pun menjanjikan misi serupa. Jaksa Agung Burhanuddin, pernah menjanjikan komitmen penyidikan Jiwasraya, tak cuma menghukum para pelaku korupsi dan TPPU-nya, juga untuk mengembalikan kerugian negara, dan memulihkan Jiwasraya, serta pengembalian dana nasabah dengan cara pelakukan penyitaan aset-aset berharga milik enam tersangka. Mereka yaitu, tersangka Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, Joko Hartono Tirto, Hendrisman Rahim, dan Harry Prasetyo, serta Syahmirwan.
Burhanuddin mengungkapkan, sejak penyidikan Desember 2019, sampai saat ini, proses pelacakan aset para tersangka, Kejakgung sudah melakukan penyitaan yang ditaksir mencapai Rp 13,1 triliun. Burhanuddin mengakui, nilai aset sitaan tersebut belum cukup untuk menyelamatkan Jiwasraya, pun untuk mengganti kerugian negara. Akan tetapi, Burhanuddin menegaskan, Kejakgung tetap akan melakukan penyitaan aset-aset para tersangka meskipun pemerintah punya langkah sendiri untuk menyelamatkan Jiwasraya.
"Apa yang disampaikan BPK itu betul sekali. Kalau soal-soal lain yang dilakukan pemerintah itu, ada yang menangani sendiri. Yang ingin kami (Kejakgung) lakukan, adalah penegakan hukumnya," kata Burhanuddin.
Yang pasti, kata dia, Kejakgung punya tanggungjawab tersendiri untuk menghukum pelaku kejahatan di Jiwasraya, sekaligus mengembalikan kerugian negara dari aksi kejahatan tersebut dengan cara melakukan penyitaan aset milik para tersangka. "Sampai kapanpun, kalau tersangka masih punya hartanya, bahkan sampai putus pun kami akan mengejar aset-aset itu," kata Burhanuddin.