Sabtu 23 Nov 2019 02:13 WIB

Ketua KY Ingin Amendemen UUD Beri KY Kewenangan Lebih

Ketua KY ingin pengawasan kehakiman dicantumkan dalam Amendemen UUD.

Rep: Ronggi Astungkoro/ Red: Dwi Murdaningsih
Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus melakukan sesi wawancara bersama Republika di kantor Komisi Yudisial, Jakarta Pusat, Senin (15/10).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus melakukan sesi wawancara bersama Republika di kantor Komisi Yudisial, Jakarta Pusat, Senin (15/10).

REPUBLIKA.CO.ID,  BOGOR -- Ketua Komisi Yudisial (KY), Jaja Ahmad Jayus, ingin KY diperkuat jika memang dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Salah satunya, yakni menambahan peran KY dalam Pasal 24 UUD 1945 yang membahas tentang kewenangan kekuasaan kehakiman.

"Kita ingin dorong bahwa kuat. Nah kalau kuat tentunya kan kalau misalnya menyangkut lembaga penegak hukum namanya bukan KY, berubah jadi Mahkamah Yudisial atau Dewan Yudisial, dan sebagainya," kata Jaja usai kegiatan KY di Bogor, Jumat (22/11).

Baca Juga

Ia menyebutkan, salah satu bentuk penguatan tersebut ialah dengan memasukkan pengaturan tegas tentang pengawasan yang dilakukan oleh KY. Dia juga ingin dalam amandemen UUD 1945 nantinya proses seleksi terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) juga dilakukan oleh KY, tidak lagi melalui DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung (MA).

"Saya ingin agar pengawasan itu secara tegas dicantumkan ke dalam amandemen, termasuk (pengawasan terhadap) hakim MK. Kemudian kedua, juga proses seleksi terhadap hakim MK itu oleh KY," ucap dia.

Di samping itu, pakar hukum tata negara, Refly Harun, menjelaskan, ia memiliki tiga skenario untuk memantapkan peran KY dalam dunia peradilan. Skenario pertama tidak jauh berbeda dengan situasi saat ini, yakni memperjelas pembagian kerja antara KY dengan MA. KY dapat bekerja sebagai pengawas eksternal, sedangkan MA san jajaran ke bawahnya sebagai pengawas internal.

"Tidak saling menggantikan tapi saling melengkapi, cuma tujuannya berbeda. Pengawasan internal tujuannya pembinanaan, pengawasan eksternal tujuannya penegakkan kode etik," jelasnya.

Skenario kedua, ialah menghadirkan Mahkamah Yudisial tanpa perlu mengubah konstitusi. Area kekuasaan dari Mahkamah Yudisial itu, kata dia, tidak hanya sebatas hasil pekerjaan dari KY dalam rangka pengawasan hakim saja, tetapi juga hasil pekerjaan dari Kompolnas dan Komjak, termasuk Dewan Pengawas KPK.

"Area authority dari Mahkamah Yudisial ini adalah tidak hanya sebatas hasil pekerjaan dari KY dalam rangka pengawasan hakim, tapi hasil pekerjaan Kompolnas dan Komjak, termasuk Dewas KPK. Jadi masuknya ke Mahkamah Yudisial dalam rangka penegakkan kode etik," jelas Refly dalam diskusi.

Kemudian, skenario ketiga, melalui perubahan konstitusi dengan memasukkan Mahkamah Yudisial ke dalamnya. Menurutnya, jika begitu, Mahkamah Yudisial dibentuk dalam rangka menjaga keluhuran dan martabat seluruh penegak hukum, tidak hakim saja. Di bawah Mahkamah Yudisial itu barulah terdapat KY yang derajatnya disamakan seperti Kompolnas dan Komjak.

"Yang tugasnya ialah mengawasi, temasuk terima laporan. Jadi dia bertindak seperti penuntut umum. Bagai jaksa ketika ada pengadilan etik. Kompolnas juga begitu, bertindak sebagai penuntutnya, Komjak juga," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement