REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejumlah masalah dalam revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Hal tersebut diungkapkan menyusul pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU oleh DPR pada Selasa (17/9).
"Poin-poin yang disepakati dalam pembahasan revisi UU KPK antara DPR bersama pemerintah sulit untuk diterima akal sehat," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhani dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (18/9).
Dia menyoroti pembentukan dewan pengawas KPK. Menurutnya, pengawasan terhadap lembaga antirasuah itu sebenarnya telah berjalan, baik internal maupun eksternal. Ia melanjutkan, KPK telah memiliki kedeputian Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM).
Deputi ini, dia mengungkapkan, pernah menjatuhkan sanksi pada pucuk pimpinan tertinggi KPK pada level komisioner, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang. Artinya, dia mengatakan, tidak ada yang kebal hukum di internal KPK.
"Hal itu juga sebagai argumentasi logis dari tudingan banyak pihak yang menyebutkan bahwa internal KPK tidak pernah diawasi," katanya.
Dia menambahkan, pengawasan eksternal KPK berdasarkan perintah UU bertanggung jawab keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DPR dalam Rapat Dengar Pendapat, dan Presiden. Selain dari itu secara spesifik UU KPK menyebutkan bahwa KPK bertanggung jawab pada publik.
Kurnia menyebutkan, masalah selanjutnya yakni kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika penanganan perkara tidak selesai dalam jangka waktu dua tahun. Dia mengatakan, isu ini sudah dibantah berkali-kali dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2003, 2006 dan 2010.
"Tentu harusnya DPR dan pemerintah paham akan hal ini untuk tidak terus menerus memasukkan isu ini pada perubahan UU KPK," katanya.
Selain itu, dia melanjutkan, Pasal 40 UU KPK yang melarang menerbitkan SP3 bertujuan agar KPK tetap selektif dalam menkonstruksikan sebuah perkara. Hal itu dilakukan agar nantinya dapat terbukti secara sah dan meyakinkan di muka persidangan.
Dia berpendapat, penerbitan SP3 akan membuat perkara-perkara besar yang ditangani KPK berpotensi kuat untuk dihentikan. Padahal, dia mengatakaan, setiap perkara memiliki perbedaan kompleksitas penanganan. "Maka dari itu menjadi tidak logis memasukkan klausula waktu sebagai dasar mengeluarkan SP3," katanya.
ICW juga menyoroti izin penyadapan dari Dewan Pengawas. Dia mengatakan, hal itu justru akan memperlambat penanganan tindak pidana korupsi dan bentuk intervensi atas penegakan hukum yang berjalan di KPK. Padahal, hasil sadapan KPK menjadi bukti penting di muka persidangan untuk menindak pelaku korupsi.
Lebih jauh, dia menilai, perubahan Pasal 3 UU KPK membuat lembaga antirasuah itu tidak lagi independen. Menurut Kurnia, masuknya KPK ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif kontradiksi dengan prinsip teori lembaga negara independen yang memang ingin memisahkan lembaga seperti KPK dari cabang kekuasaan lainnya.