Senin 16 Sep 2019 09:41 WIB

DPR Hari Ini Lanjutkan Pembahasan Revisi UU KPK

Pembahasan revisi UU KPK antara DPR dan pemerintah telah dimulai sejak pekan lalu.

Pegawai KPK saat menabur bunga ke keranda mayat di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/9).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pegawai KPK saat menabur bunga ke keranda mayat di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/9).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Rizky Suryarandika, Wahyu Suryana

Pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan dilanjutkan pada hari ini, Senin (16/9). Pembahasan tersebut dilakukan setelah pada Jumat (13/9) lalu Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK menggelar rapat tertutup.

Baca Juga

"Dilanjutkan pada Senin yang akan datang," kata Ketua Panja Supratman Andi Agtas saat dikonfirmasi, Ahad (15/9).

Pembahasan Revisi UU KPK yang disetujui pemerintah dan DPR telah berjalan sejak Kamis (12/9) malam. Saat itu, pihak pemerintah yang diwakili Kementerian Hukum dan HAM membacakan masukan dari presiden soal revisi UU tersebut.

Masukan yang terdiri dari tiga poin itu pun dibahas oleh panja dalam rapat pada Jumat. "Ada beberapa substansi yg merupakan substansi usulan pemerintah yang harus kita sesuaikan dengan pendapat fraksi fraksi," ujar Supratman.

Supratman yang juga ketua Badan Legislasi DPR itu enggan menjelaskan poin dan substansi rapat panja pada Jumat yang digelar secara tertutup itu. Ia hanya mengatakan, rapat iti berjalan dinamis antarfraksi. Ia berharap, apa yang diinginkan fraksi dan pemerintah akan diselesaikan pada rapat Senin besok.

"Kita berharap dalam waktu ke depan seperti apa keinginan fraksi-fraksi dan pemerintah dalam pembahasan Revisi UU KPK ini kita sampaikan," kata dia.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan tiga poin masukan terkait revisi UU KPK. Poin pertama terkait Dewan Pengawas. Jokowi meminta  pengangkatan ketua dan anggota Dewan Pengawas menjadi kewenangan Presiden. Pemerintah beralasan, hal ini untuk meminimalisir waktu dalam proses penentuan dalam pengangkatannya.

Poin kedua, yakni keberadaan penyelidik dan penyidik independen KPK. Pemerintah menilai perlu membuka ruang dan mengakomodasi penyelidik dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi berstatus sebagai pegawai ASN.

Poin ketiga terkait penyebutan KPK sebagai lembaga negara. Putusan MK nomor 36/PUU-XV/2017 menyebutkan bahwa KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau independen di ranah eksekutif.

Pihak Kemenkumham menyatakan siap bersinergi dengan DPR RI dalam pembahasan revisi UU KPK. Kemenkumham kini menunggu panggilan dari DPR atas tindak lanjut revisi tersebut.

"Kita menunggu info dari Baleg DPR untuk selanjutnya. Kita mengikuti iramanya DPR saja," kata Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Kemenkumham, Bambang Wiyono pada Republika, Ahad (15/9).

Ia menyampaikan perwakilan Kemenkumham akan hadir dalam tiap rapat pembahasan revisi UU KPK. Sebab, Kemenkumham sudah diberi amanah oleh Presiden Jokowiguna membahas revisi UU KPK bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB).

"Pak Menteri mewakili pemerintah hadir dalam rapat dengan DPR. Kemenkumham wajib hadir sebagai wakil pemerintah. Jika rapat panja, cukup diwakili pak dirjen atau eselon satu," ujar Bambang.

Bambang menekankan proses revisi UU KPK sudah mengikuti mekanisme yang berlaku. Sehingga, nantinya hasil revisi itu tak cacat di mata hukum.

"Sebuah UU lahir harus dengan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR. Lalu harus mengikuti mekanisme pembentukan perundang-undangan," jelasnya.

Berpotensi dibatalkan MK

Pakar hukum tata negara, Mahfud MD mengkritisi prosedur revisi UU KPK di DPR. Bahkan, menurutnya, Presiden Jokowi masih bisa menarik diri atau menunda pembahasan revisi UU KPK.

"Sejak awal saya mengatakan setiap rancangan UU itu harus dibahas dengan asas keterbukaan, mendengar pendapat masyarakat, kunjungan studi, bukan tiba-tiba jadi," kata Mahfud di Yogyakarta, Ahad (15/9).

Tetapi, ia menolak pula ajakan-ajakan untuk bersikap fatalis, salah satunya yang mengajak untuk membubarkan KPK sekalian. Terlebih, Mahfud mengingatkan, bagi umat Islam ada dalil untuk tidak fatalis.

Dalam Islam, Mahfud menekankan, jika tidak bisa mengambil semuanya, ambil peluang-peluang kebaikan yang tersisa. Artinya, jangan putus asa karena merasa pemerintah dan DPR tidak sungguh-sungguh.

"Bahkan, ada yang menyarankan kalau begitu korupsi dihalalkan saja, 20 persen dari proyek-proyek boleh dikorupsi, sisanya tidak boleh," ujar Mahfud.

Mahfud MD, tetap menyarankan revisi UU KPK dikembalikan kepada prosedur yang seharusnya. Mahfud mengingatkan, UU itu bisa dibatalkan MK jika tidak sesuai prosedur.

"Saya menganjurkan, sebagai rakyat, meminta agar itu dikembalikan ke prosedur yang ada," kata Mahfud.

Tetapi, ia menekankan, materi-materi revisi yang bagus hendaknya bisa dijaga bersama agar dipertahankan. Atau, lanjut Mahfud, digantikan materi-materi yang lebih bagus jika ada pembanding-pembandingnya.

"Kalau cacat formal itu bisa dibatalkan MK, saya pernah (saat jadi Ketua MK) membatalkan yang begitu-begitu, kecuali MK nanti kena angin atau apa ya," ujar Mahfud.

Soal lama pembuatan MK, ia merasa selama ini tergantung situasi dan kondisi. Ada yang bisa menghabiskan waktu dua tahun, ada yang hanya membutuhkan waktu satu pekan, tapi rata-rata sekitar empat bulan.

"Yang jelas (UU) ini tidak ada di Prolegnas, naskah akademiknya belum ada, belum disosialisasikan," kata Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut.

photo
6 Poin Revisi UU KPK

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement