REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menyesalkan sikap Presiden Joko Widodo terkait revisi UU KPK. Diketahui pada Rabu (11/9), Presiden secara resmi mengirimkan surat kepada DPR yang menyebutkan bahwa Presiden sepakat untuk membahas ketentuan revisi UU KPK bersama DPR.
"Tentu ini menunjukkan ketidakberpihakan Presiden pada penguatan KPK dan pemberantasan korupsi," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam pesan singkatnya, Kamis (12/9).
ICW meminta agar Presiden dan DPR harus membuka mata, telinga, dan menggunakan hati nurani agar dapat mendengarkan aspirasi masyarakat. Selain itu, masyarakat juga harus menyerukan penolakan dan bersama-sama merapatkan barisan untuk melawan pelemahan KPK.
Kurnia menuturkan, setidaknya ada empat catatan penting dalam menanggapi persoalan ini. Pertama, Presiden terlihat tergesa-gesa dalam mengirimkan surpres ke DPR tanpa adanya pertimbangan yang matang. Pasal 49 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 secara tegas memberikan tenggat waktu 60 hari kepada Presiden sebelum menyepakati usulan UU dari DPR.
"Harusnya waktu itu dapat digunakan oleh Presiden untuk menimbang usulan DPR yang sebenarnya justru melemahlan KPK," ujarnya.
Kedua, lanjut Kurnia, Presiden abai dalam mendengarkan aspirasi masyarakat. Sudah berbagai elemen masyarakat, organisasi, dan tokoh yang menentang revisi UU KPK.
Bahkan lebih dari 100 guru besar dari berbagai universitas menentang pelemahan KPK dari jalur legislasi ini. Kejadian ini pun seakan mengulang langkah keliru Presiden saat proses pemilihan pimpinan KPK yang lalu.
"Harus diingat bahwa Presiden bukan hanya kepala pemerintahan, namun juga kepala negara yang mesti memastikan lembaga negara seperti KPK tidak dilemahkan oleh pihak-pihak manapun," kata dia.
Kurnia melanjutkan, ketiga Presiden ingkar janji tentang penguatan KPK dan keberpihakan pada isu anti korupsi. Padahal, tegas disebutkan pada poin 4 Nawacita dari Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
"Dengan Presiden menyepakati revisi UU KPK usulan dari DPR ini rasanya Nawacita Presiden sama sekali tidak terlihat," ujarnya.
Terakhir yang keempat, Presiden mengabaikan prosedur formal dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Pasal 45 UU No 12 Tahun 2011 telah mensyaratkan bahwa revisi UU harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Selain itu, dalam tata tertib Pasal 112 (1) jo Pasal 113 Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa rancangan undang-undang sebagaimana disisin berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan. Jika melihat faktanya, revisi UU KPK tidak masuk dalam prolegnas prioritas.
"Rasanya masih jelas di ingatan publik sosok dari Presiden Joko Widodo yang sempat menerima Bung Hatta Anti-Corruption Award pada tahun 2010 yang lalu. Tentu ekspektasi publik amat besar pada Presiden untuk terus menguatkan KPK dan pemberantasan korupsi. Dengan kejadian seperti ini rasanya wajar jika akhirnya publik meragukan komitmen anti korupsi dari Presiden dan pemerintah," ucapnya.
Ia menambahkan, patut untuk diingat bahwa Joko Widodo terpilih menjadi presiden karena janji-janji yang telah diutarakan saat kampanye yang lalu, sehingga masyarakat memilihnya. Lalu, jika saat ini Presiden tidak menepati janji untuk memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi, sudah barang tentu barisan pendukung Presiden akan semakin berkurang drastis. Hal ini akan berimplikasi serius pada kepercayaan publik pada pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.
"Kritik ini bukan tanpa dasar. Sebab, memang keseluruhan pasal dalam revisi UU KPK justru diprediksi akan melucuti kewenangan lembaga anti korupsi itu," kata Kurnia.