REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mabes Polri membatah perihal keberadaan surat larangan menuntut atas kematian Harun Rasyid. Harun diduga menjadi salah satu korban yang meninggal dengan misterius dalam kericuhan 22 Mei.
“Mana ada surat itu, hoaks itu,” kata Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi Republika, Selasa (28/5).
Sebelumnya, orang tua Harun menyatakan bahwa sempat mengalami kesulitan untuk mengambil jasad anaknya. Mereka harus menyertakan surat pengantar dari kepolisian Polres Jakarta Barat terlebih dahulu.
Didin (ayah Harun) yang sudah kelelahan menyerahkan kepada adiknya untuk mengurusnya. Namun sebelum itu dia memperingatkan adiknya agar tidak menandatangani dokumen apapun yang belum jelas maksudnya.
Namun karena waktu semakin sore dan jenazah telah lama berada di RS, akhirnya dokumen-dokumen tetap ditandatangani agar jenazah Harun dapat segera pulang dan dikebumikan.
Saat diserahkan, menurut Didin, jenazah sudah dalam balutan kain kafan. Pihak keluarga Harun diberitahukan, bahwa jenazah tersebut telah diautopsi.
"Hasil autopsi tidak diberikan, di situ saya mempertanyakan kenapa hasil autopsi tidak diminta, apa memang tidak apa tidak dikasih," kata Didin.
Harun Al Rasyid merupakan murid SMP Islam Assa’adatul Abadiyah, Petamburan, Jakarta Barat. Harun menjadi salah satu korban dalam kerusuhan 22 Mei 2019.
Orang tuanya mengaku mendapat informasi, Harun ditemukan sudah tak bernyawa dalam sebuah got di bilangan Slipi, Jakarta Barat. Namun hingga kini masih belum terungkap penyebab kematian anaknya dan siapa pelakunya.