REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunitas puisi esai beriktiar menyarankan pemanfaatkan puisi esai guna memperkuat pendidikan karakter. Puisi ini dinilai akan memberi ruang bagi drama moral yang menyentuh.
Lima dosen dan guru, dari lima pulau: Sumatra, Jawa, Kalimantan, Papua, bersama menyusun buku panduan soal puisi esai untuk sekolah. "Sastra bukan hanya belajar karya baku para sastrawan. Sastra juga adalah ekspresi para siswa dan mahasiswa atas lingkungan sosialnya sendiri, kemarahannya, ketakutannya, kegembiraanya, harapannya," ujar Denny JA dalam siaran persnya, Sabtu (17/11).
Menurut Denny dengan sedikit riset, fakta dan data di lingkungan sosial oleh para siswa dapat dituliskan dalam catatan kaki. Mereka menambahkan fiksi sehingga kisah nyata itu menjadi drama, menjadi cerpen yang dipuisikan.
"Detail soal puisi esai dapat dipelajari para guru dan dosen melalui buku di atas: mengenal puisi esai. Pembaca dapat pula membacanya secara daring," sambungnya.
Sebelumnya, 176 penyair dari 34 provinsi sudah menuliskan kearifan lokal di provinsinya masing masing dalam 34 buku puisi esai. Kisah budaya Indonesia di 34 provinsi tersaji di sana.
12 penyair Malaysia dan Indonesia sudah pula menuliskan riwayat hubungan dua negara dalam puisi esai. Mempelajari Hubungan kultural dan batin Indonesia justru lebih terasa dalam bentuk sastra.
"Kini penyair dari Brunei, Thailand, Singapura menuliskan riwayat kulturnya sendiri, juga dalam puisi esai," ucap Denny.
Di Malaysia, bahkan diluncurkan lomba menulis puisi esai di tingkat Asean. Dan kini anak anak SMA di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, mulai pula melakukan riset soal dunia mereka sendiri. Riset itu ditambahkan fiksi menjadi puisi esai.