REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto berpendapat, pola penyusupan paham terorisme (infiltrasi terorisme) mengalami pergeseran dari pola tradisional menjadi pola baru. Jika sebelumnya infiltrasi terorisme dilakukan melalui pola pengajaran, saat ini bergeser menjadi pola pengasuhan.
Ini terlihat dari banyaknya anak-anak yang terlibat dalam serangkaian aksi teror yang terjadi beberapa hari terakhir. "Dulu infiltrasi radikalisme itu melalui guru, teman sebaya,” kata Susanto di Surabaya, Rabu (16/5).
Akan tetapi saat ini, Susanto menuturkan, inflitrasi terorisme yang dipilih adalah melalui pola-pola pengasuhan. Dia pun menyatakan hal tersebut merupakan kejahatan yang serius.
“Tidak boleh orang tua melakukan pengasuhan dengan muatan radikalisme karena ini pelanggaran serius," ujar
Susanto mengungkapkan, dalam banyak kasus, pola infiltrasi radikalisme terhadap anak, si anak memang tidak dilibatkan langsung, melainkan bertahap. Caranya, dia mengatakan, orang tua akan memulai dengan cara menanamkan kebencian pada sistem negara, pemerintah, dan aparat.
Bahkan, dia menilai, infiltrasi tahap awal ini ditunjukkan dengan menanamkan pemikiran agar anak tidak mau melakukan hormat bendera. "Meskipun tidak semua anak yang tidak menghormat bendera itu radikal," ujar Susanto.
Susanto kemudian mengingatkan, penanganan kasus terorisme yang melibatkan anak-anak tersebut harus menyeluruh. Terutama terkait rehabilitasi anak-anak yang terlibat.
Menurutnya, anak-anak ini membutuhkan rehabilitasi secara tuntas dan komprehensif, baik dari sisi sosial, psikologis, bahkan juga pendekatan agama. Dia berpendapat pendekatan agama penting agar anak-anak tersebut tidak melenceng dari ajaran agama yang sesungguhnya.
Pemahaman agama yang harus ditanamkan, yakni pemahaman agama yang mengikuti arus utama dan tepat sesuai ajaran agama. “Kasus terorisme itu bukan ajaran agama justru terorisme itu melawan agama," kata Susanto.
Susanto menyatakan, proses pengasuhan terhadap anak-anak yang terlibat aksi teror juga perlu penaksiran. Tidak hanya kompetensi dan keterampilan terhadap pengasuhannya, tetapi juga harus dipastikan pihak yang mengasuh, terutama keluarga, tidak memiliki pemikiran yang radikal.
Ada pola pergeseran aksi terorisme. Jika dulu teroris merupakan orang dewasa dan berjenis kelamin laki-laki maka kini teroris melibatkan perempuan, termasuk para ibu. Para ibu ini membawa anak-anak mereka untuk melakukan aksi bom bunuh diri.
Dari 13 jenazah yang tersimpan di kamar mayat Rumah Sakit Bhayangkara, lima di antaranya berusia di bawah 18 tahun. Empat jenazah, yakni Fad (12 tahun), PR (9), dan FH (16), tewas ketika melakukan aksi di gereja. Sementara RAR (17) meninggal ketika bom rakitan keluarganya tidak sengaja meledak di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo.
Sebelumnya, Susanto menyatakan, pelibatan anak-anak dalam aksi terorisme terjadi dalam berbagai level. Tidak hanya diajak menjadi eksekutor, Susanto menyebutkan ada anak yang diajak untuk merencanakan melakukan aksi terorisme.