Kamis 01 Mar 2018 17:13 WIB

Soal Pengembalian Uang Korupsi, Pukat: Bisa Melawan UU

Pukat UGM menilai pemerintah perlu membahas dengan berbagai unsur.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Advokasi Pukat UGM, Oce Madril.
Foto: Republika
Direktur Advokasi Pukat UGM, Oce Madril.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM Oce Madril mengatakan, pemerintah perlu mengadakan diskusi dengan berbagai unsur. Hal tersebut terkait dikeluarkannya perjanjian kerjasama antara pihak kepolisian serta tim dari Kementerian Dalam Negeri mengenai dihentikannya penyelidikan kasus korupsi pejabat daerah yang telah mengembalikan uang kerugian negara ke kas negara.

"Saya kira pemerintah perlu berdiskusi dengan berbagai unsur atau elemen untuk membahas masalah ini. Karena dikhawatirkan nota kesepahaman ini akan menabrak dan melawan undang-undang yang ada," ujar Oce Madril saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (1/3).

Dalam pasal 4 UU No. 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebut Oce walaupun tersangka dikatakan sudah mengembalikan sejumlah uang sesuai dengan kerugian negara, proses pidana harus tetap dilanjutkan. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyebutkan pengembalian kerugian negara tidak lantas menghapuskan hukum pidana seseorang.

"Nota kesepakatan itu tidak mungkin diterapkan karena UU saja tidak berbicara demikian. Tentu nantinya penegak hukum tidak ingin di anggap melangkahi UU Tipikor," kata ahli hukum tata negara ini.

Sejauh ini PUKAT memang dikatakan belum menunjukkan sikap resmi dalam merespon adanya nota kesepakatan tersebut. Namun dirinya secara pribadi mengatakan siap jika diminta memberi masukan yang bersifat umum tentang bagaimana mencegah korupsi di daerah. Nantinya saran yang diberikan pun akan disesuaikan dengan jalur hukum yang ada dan tidak menabrak baik UU Tipikor maupun UU administrasi pemerintahan.

Oce menjelaskan dalam konteks hukum admininstrasi, memang ada konteks pengembalian kerugian negara jika kesalahannya bersifat administratif dan tidak perlu ditindak pidana. Namun jika kesalahan yang dilakukan bersifat pidana dan melanggar atau melawan hukum, maka tindak pidana tidak bisa dihapuskan.

Yang dimaksud sebagai tindak pidana korupsi adalah apabila tersangka berdasarkan bukti yang ada masuk dalam unsur-unsur yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Beberapa unsur tersebut diantaranya, merugikan negara, melanggar hukum, penyalahgunaan kewenangan, serta memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan menerima hadiah atau gratifikasi.

"Jika seseorang terbukti melakukan tindakan diatas maka dirinya terkena hukum tindak pidana dan kasusnya wajib dilanjutkan hingga tuntas," ujarnya.

Oce Madril menambahkan pemerintah atau Kementerian Dalam Negeri yang juga ikut menandatangani perjanjian tersebut beserta pihak kepolisian perlu memahami betul isi perjanjian. Jangan sampai ada poin-poin dalam kesepakatan tersebut yang melanggar prinsip dalam UU. Kedua pihak ini boleh saja membuat kesepakatan mengenai cara mengatasi korupsi di daerah, namun diharapkan tidak menabrak UU.

Sebelumnya pada Rabu (28/2) Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Polisi Ari Dono Sukmanto menandatangani Perjanjian Kerja Sama Koordinasi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH) terkait Indikasi Korupsi di Jakarta. Dalam perjanjian tersebut dikatakan penyelidikan kasus korupsi pejabat daerah akan dihentikan apabila sang koruptor mengembalikan uang kerugian negara ke kas negara.

 

(Baca juga: Kabareskrim akan Klarifikasi Soal Pengembalian Uang Korupsi)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement