Selasa 12 Dec 2017 06:07 WIB

Jokowi: Banyak Regulasi Justru Picu Korupsi

Rep: Dessy Suciati Saputri, Dian Fath Risalah/ Red: Elba Damhuri
Presiden Joko Widodo  (Kanan) didampingi Ketua KPK Agus Rahardjo (Kedua Kanan), Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ Bappenas) Bambang Brodjonegoro (tengah), Menkum HAM Yasonna Laoly (kedua kiri) dan Mensesneg Pratikno (kiri) membuka Konfrensi Nasional Pemberantasan Korupsi ke-12 sekaligus peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia Tahun 2017 serta Peluncuran e-LHKPN, di Jakarta, Senin (11/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Presiden Joko Widodo (Kanan) didampingi Ketua KPK Agus Rahardjo (Kedua Kanan), Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ Bappenas) Bambang Brodjonegoro (tengah), Menkum HAM Yasonna Laoly (kedua kiri) dan Mensesneg Pratikno (kiri) membuka Konfrensi Nasional Pemberantasan Korupsi ke-12 sekaligus peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia Tahun 2017 serta Peluncuran e-LHKPN, di Jakarta, Senin (11/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo berpandangan terlampau banyaknya regulasi perizinan di pemerintahan menjadi salah satu pemicu korupsi. Sebab itu, menurut Presiden, deregulasi dapat menjadi salah satu strategi yang penting untuk mencegah praktik korupsi.

"Kita akui regulasi yang melindungi kepentingan publik, sangat-sangat penting, tetapi setiap regulasi seperti pisau bermata dua," kata Presiden Joko Widodo di Jakarta, Senin (11/12).

Kepala Negara menyampaikan hal ini dalam acara Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2017 dan peresmian pembukaan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi ke-12 serta Peluncuran Aplikasi e-LHKPN) di Hotel Bidakara pada 11-12 Desember 2017.

Ia mengkritik sejumlah persyaratan dalam pengurusan regulasi perizinan malah berubah menjadi izin itu sendiri yang jumlahnya mencapai ratusan. Akibatnya, akan timbul hubungan transaksional antara regulator dan masyarakat.

"Setiap aturan, setiap izin dan setiap persyaratan punya potensi menjadi objek transaksi, objek korupsi," kata Presiden.

Jokowi pun meminta agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, menghentikan sistem itu serta memangkas regulasi yang justru membebankan masyarakat dan berpengaruh terhadap dunia usaha.

"Semua kementerian, gubernur, bupati, wali kota, pangkas itu yang namanya regulasi, aturan, perizinan, persyaratan yang memberikan beban ke masyarakat," ujar Presiden.

Lebih lanjut, ia pun meminta agar birokrasi tak lagi memperumit dunia usaha dan masyarakat. Pembuatan aturan-aturan tersebut juga berdampak pada produktivitas para pejabat pemerintah.

Presiden mengatakan, sedikitnya ada 42 ribu aturan yang harus dipangkas. Ia mengaku geram dengan adanya aturan-aturan dan layanan administrasi yang justru memperumit masyarakat serta berpotensi terjadinya pungutan liar dan alat pemerasan. Ia kemudian melontarkan gagasan membuat lomba memangkas peraturan demi menciptakan birokrasi yang efisien.

Karena itu, ia pun menginstruksikan agar transparansi, kecepatan, penyerdehanaan aturan harus ditingkatkan. Ia mencontohkan, saat ini Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pun sudah diterapkan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sejak 2015. Sehingga pengurusan izin dapat dilakukan dalam waktu tiga jam dari sebelumnya, yang memakan waktu berbulan-bulan.

Menurut Jokowi, sejauh ini kelembagaan PTSP sudah terbentuk di 531 kabupaten/provinsi/kota. Sedangkan, di level kecamatan, PTSP baru terbentuk di 197 kecamatan. Ia pun menginstruksikan kepala daerah untuk mempercepat proses layanan terpadu serta melakukan pengawasan.

Dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, kemarin, Presiden juga mengungkapkan, Indonesia adalah salah satu negara yang paling aktif dalam mengusut kasus-kasus korupsi. ”Coba kita lihat sejak tahun 2004 sampai sekarang ada 12 gubernur kena kasus korupsi, ada 64 bupati/wali kota ditangkap korupsi," kata Presiden.

Namun, yang mengherankan, menurut Presiden, dari waktu ke waktu pejabat yang ditangkap dan dipenjarakan karena kasus korupsi masih terus ada. "Ini berarti tidak bisa disangkal lagi, upaya pencegahan korupsi harus dilakukan lebih serius tidak bisa ditunda lagi," ucap Presiden.

Di lain pihak, Ketua KPK Agus Rahardjo meminta agar pemerintah dan masyarakat tidak perlu takut dengan jumlah aturan yang banyak. Yang lebih penting, menurut Agus Rahardjo, implementasinya diawasi. "Aturan banyak, tapi keluarnya sangat banyak sekali, jangan alergi pada aturan asal pelaksanaannya diawasi, pelaksanaannya tidak mempersulit orang, mendapatkannya cukup dengan common sense," kata Agus Rahardjo di acara yang sama.

KPK juga dalam acara tersebut meminta agar seluruh poin di United Nations Convention Against Corruption (Konvensi PBB Antikorupsi atau UNCAC) yang sudah diratifikasi dalam UU Nomor 7 tahun 2006 terwujud dalam produk legislasi berupa undang-undang. Sejumlah poin UNCAC yang masih harus dimasukkan ke UU di Indonesia, yaitu korupsi sektor swasta, kegiatan memperkaya diri sendiri yang tak transparan, pengaruh perdagangan, dan pemulihan aset.

Sedangkan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif memaklumi kakhawatiran Presiden karena ribuan peraturan itu banyak yang tumpang-tindih antara sektor yang satu dan yang lain. Belum lagi peraturan nasional dan provinsi serta kabupaten/kota tak jarang kontradiktif. “Jadi memang saya pikir masalahnya bukan besaran jumlahnya,\" kata Syarif, kemarin.

Ia mengakui, sejumlah undang-undang Indonesia ada yang aneh karena regulasinya ada yang sudah berganti, tapi peraturan pelaksanaannya belum jadi. "Di Indonesia kan ada UU yang nanti disebut diatur di peraturan turunan, seperti peraturan menteri dan peraturan daerah," kata Syarif.

Ia pun berharap agar parlemen juga mendukung keinginan KPK tersebut. Menurut dia, sekuat apa pun pemerintah menyelesaikan RUU, tanpa dukungan parlemen tidak mungkin berhasil. Momentum

Hari Anti-Korupsi Sedunia 2017 kemarin mengambil tema "Bergerak Bersama Memberantas Korupsi untuk Mewujudkan Masyarakat yang Sejahtera". Melalui peringatan itu, KPK sebagai penyelenggara berharap agar pemberantasan korupsi harus dilakukan bersama-sama yang membutuhkan komitmen dari pemerintah, DPR, badan yudikatif, lembaga negara lain, dan masyarakat.

Tujuannya, agar ada kepastian hukum dan proses tegas terhadap pelaku korupsi sehingga tidak memberikan ruang bagi pelaku atau pihak yang membantu terjadinya korupsi di birokrasi atau instansi masing-masing. Hadir dalam Hakordia, antara lain, Ketua DPD Oesman Sapta Odang, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, dan sejumlah menteri kabinet Indonesia bersatu lainnya.

(Pengolah: Fitriyan Zamzami).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement