Jumat 21 Mar 2025 17:04 WIB

Koalisi Sipil Pertanyakan Kewenangan yang Sangat Besar Polisi di RUU KUHAP

Merujuk UU Kejaksaan dan KPK semestinya mereka punya kewenangan tangani korupsi/

Ilustrasi Mabes Polri
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Mabes Polri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil dari LBH Jakarta, Fadil Alfathan, mempertanyakan, penambahan kewenangan yang sangat besar bagi polisi di draft Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).  Dalam posisi polisi banyak persoalan malah diberikan kewenangan yang sangat besar.

Fadil mengatakan, ada dominasi polisi dalam draft UU KUHAP yang beredar di masyarakat. Dijelaskannya, tidak ada semangat untuk mengevaluasi lebih lanjut atas implementasi sistem peradilan pidana khusus yang dilakukan polisi. “Dalam konteks ini adalah sistem penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan polisi,” kata Fadil.

Dalam kondisi banyak kritik terhadap kinerja polisi, kata Fadil, justru kewenangan lebih besar di RUU KUHAP diberikan kepada polisi. “Padahal kinerjanya bagi kami sangat buruk,” ujarnya. 

Dalam konteks pidana korupsi, Fadil juga menyayangkan pemangkasan kewenangan kejaksaan. Sedangkan polisi yang dalam catatan koalisi banyak korupsi malah diberikan kewenangan lebih.   “Secara sistem ini menjadi bermasalah,” ungkap Fadil, yang merupakan Direktur LBH Jakarta ini.

Koalisi Masyarakat Sipil, menurut Fadil, menginginkan pengawasan berjenjang yang mengedepankan pengawasan lembaga yudisial. “Polisi boleh menangkap dan menahan tetapi harus ada pengawasan berjenjang,” jelas dia.

Saat ini, polisi seperti tinggal membalikkan telapak tangan saja ketika menangkap dan menahan seseorang. Padahal jika mengacu pada konsep HAM Internasional, ketika penegak hukum merampas hak seseorang untuk kepentingan penyelidikan hukum pidana maka harus dihadapkan dulu ke hakim. 

“Ditunjukan lebih dulu bukti-bukti. Kalau sekarang kan tidak, tetapkan dulu sebagai tersangka lalu ditahan 40 hari atau berbulan-bulan, baru kemudian ketemu hakim di sidang pokok perkara,” jelas Fadil.

Kejaksaan dalam konteks ini, kata Fadil, juga harus diberi peran untuk pengawasan dan membatasi kewenangan polisi dalam penyidikan. Dijelaskannya, tidak masuk akal jika yang menentukan tuduhan pasal pidana dari tersangka polisi, tetapi yang sidang di pengadilan jaksa. 

“Menurut saya ini tidak masuk akal, sehingga harus ada perombakan yang sistemik di hukum acara pidana kita. Sehingga semua akan terintegrasi,” papar Fadil.

Sistem yang sekarang ada, menurut Fadil, penegakan hukum seperti terpisah-pisah. “Apa yang dilakukan polisi seperti jaksa tidak punya kewenangan untuk melakukan kontrol. Hakim pun demikian. Cuma ada di praperadilan yang cuma 7 hari untuk membuktikan hal formil,” kata dia.

Koalisi Masyarakat Sipil menginginkan sistem hukum yang lebih terintegrasi. Sehingga dalam integrasi ini ada pembatasan kewenangan dan pengawasan. 

“Jadi ketika ada rumusan pasal yang membatasi kewenangan kejaksaan untuk menangani tindak pidana korupsi, begitu juga KPK, tetapi memberi ruang yang lebih pada polisi, maka itu harus dipertanyakan. Ini apa sebenarnya apa yang dituju,” ungkap Fadil.

Padahal merujuk pada UU Kejaksaan maupun UU KPK, lanjut Fadil, kejaksaan maupun KPK memiliki kewenangan untuk mengusut pidana korupsi. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement