REPUBLIKA.CO.ID, RIAU -- Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia mendesak persoalan pencemaran lahan di Blok Rokan dan Minas, Riau akibat eksplorasi minyak bumi segera diselesaikan. Hal ini terungkap dalam kunjungan Komite II DPD RI ke Provinsi Riau, Senin, (4/12).
Wakil Ketua Komite II DPD RI I Kadek Arimbawa menjelaskan kedatangan Komite II ini dalam rangka menyikapi aspirasi yang berkembang terkait lahan perkebunan sawit yang tercemar minyak bumi akibat eksplorasi yang dilakukan oleh PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI).
Ia meminta agar PT CPI dapat memperhatikan permasalahan tanah tercemar minyak bumi (TTM) yang timbul akibat ekplorasi tersebut. Selain itu, pemerintah juga harus mengambil tindakan tegas atas pencemaran yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
“Limbah minyak mentah milik PT Chevron di Blok Rokan dan Minas, berdasarkan laporan warga, telah mencemari perkebunan sawit milik warga dan pencemaran tanah ini membuat ratusan hektar kebun sawit warga terkena dampak limbah hingga tak berhasil berbuah meski usianya sudah mencapai 3 hingga 6 tahun lebih,” tegasnya.
Kadek mengatakan, PT. CPI harus bertanggung jawab penuh atas kerugian masyarakat, bukan hanya mengatasi masalah gagal panen, tapi juga memulihkan kondisi tanah yang telah tercemar.
Senada dengan Kadek, Senator Riau Maimanah Umar meminta PT. CPI melakukan pembersihan lahan dengan cara bioremediasi sesuai ketentuan yang diatur dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Pencemaran ini dapat diatasi dengan upaya bioremediasi yang berkelanjutan, yakni pengolahan tanah untuk mengurangi polutan beracun yang ada dalam tanah. Sesuai dengan ketentuan undang-undang, proses bioremediasi dilakukan sehingga konsentrasi polutan tanah di bawah satu persen," terangnya.
Ia menambahkan, PT. CPI harus segera menyelesaikan persoalan ini, mengingat kontraknya akan berakhir pada 2021. "Permasalahan pencemaran tanah ini harus selesai dengan segera, agar tidak menjadi tugas bagi negara dan pengelola selanjutnya," tegasnya.
Senator Jambi, M. Syukur bahkan mempertanyakan kendala yang membuat persoalan ini belum selesai meski sudah terjadi sejak tahun 2001 silam.
"Permasalahan pencemaran tanah ini sudah sejak 2001 tapi sampai 2017 dan menjelang kontrak Chevron habis, pencemaran tanah ini belum teratasi, apa masalahnya? Kami di Komite II DPD RI akan menyoroti permasalahan ini sampai tuntas," jelas Syukur.
Vice President Env PT Chevron Pasific Indonesia, Budiyanto Renyut, mengatakan pemulihan lahan terkontaminasi ini terkendala dengan banyaknya titik TTM dan biaya yang besar.
"Kami sudah melakukan pembersihan TTM di 125 titik, namun masih ada 400 titik di lahan chevron dan 400 titik di lahan warga. Untuk pembersihan TTM kami tidak bisa langsung eksekusi karena kami harus mendapat persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membersihkan lahan warga. Untuk pembiayaan pembersihan kami juga harus dapat persetujuan dari SKK Migas. Kami juga melakukan ganti rugi bagi warga yang lahan dan tanaman terkontaminasi," ujarnya.
Kepala Perwakilan SKK Migas Sumatera Bagian Utara, Hanif Rusjdi menyampaikan pemerintah ikut bertanggungjawab melakukan pembersihan lahan yang terkontaminasi minyak yakni dalam program cost and recovery.
Di akhir pertemuan, I Kadek Arimbawa meminta agar kontrak kerja bisa ditunjukkan saat rapat dengan kementerian terkait di Jakarta.
"Kalau saja sudah ada kontraknya, maka akan jelas siapa yang harus bertanggung jawab, mengingat bagi hasil 90 persen untuk pemerintah dan 10 persen untuk Chevron, intinya bagaimana agar permasalahan TTM ini bisa selesai, tidak perlu menuding siapa yang salah tapi masalah dibereskan" ujarnya.
Kunjungan kerja ini juga dihadiri oleh anggota Komite II lainnya yakni Djasarmen Purba (Kepri), Marthen (sulawesi barat) Ibrahim Agustinus Medah (NTT), Anang Prihantoro (Lampung), Rubaeti Erlita (Kalbar), Habib Bahasyim (Kalsel).