Selasa 19 Sep 2017 17:21 WIB

Kesadaran Daur Ulang Minyak Jelantah Masih Minim

Rep: Eric Iskandarsjah/ Red: Indira Rezkisari
Seorang pekerja mengumpulkan minyak jelantah yang diperoleh dari sejumlah hotel dan restoran di Bali untuk diproses menjadi bahan bakar minyak (BBM) biosolar di Denpasar, Bali, Selasa (11/11).
Foto: Antara
Seorang pekerja mengumpulkan minyak jelantah yang diperoleh dari sejumlah hotel dan restoran di Bali untuk diproses menjadi bahan bakar minyak (BBM) biosolar di Denpasar, Bali, Selasa (11/11).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Minyak goreng habis pakai atau minyak jelantah sebenarnya dapat kembali digunakan menjadi bahan bakar. Namun, kesadaran masyarakat akan hal itu hingga saat ini masih minim, termasuk di Yogyakarta.

Hal itu diakui oleh Lurah Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Wahyudi Anggoro Hadi. Ia menyadari hal itu karena ia hingga saat ini masih mengalami kesulitan untuk menghimpun minyak jelantah dari masyarakat sekitar.

Sejak tahun 2013, ia bersama Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Panggung Lestari telah mengembangkan minyak jelantah yang telah melalui proses pemurnian atau refined used cooking oil (R-UCO) sebagai bahan bakar alternatif pengganti solar. "Bahan bakar alternatif ini dapat digunakan pada mesin industri," ujarnya Selasa (19/9).

Melihat potensi itu, ia pun mencoba menghimpun dengan membeli minyak jelantah dari masyarakat seharga Rp 4 ribu per liter. Namun, hingga saat ini, di desanya, baru terdapat sekitar 1.700 kepala keluarga (KK) yang mau mendukung penghimpunan minyak jelantah itu.

"Itu artinya, baru sekitar 18 persen dari warga di desanya yang menyadari manfaat dari minyak jelantah," kata dia. Pasalnya, di Desa Panggungharjo, terdapat sekitar 9.300 KK yang berdomisili di desa itu dan otomatis menggunakan minyak goreng sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Dari angka itu, terlihat bahwa masih banyak masyarakat yang kemudian membuang minyak jelantah di dapur yang kemudian menjadi limbah rumah tangga. Ia menilai, limbah rumah tangga yang mengandung minyak jelantah itu berpotensi menimbulkan polusi air di sungai.

Tak patah arang, ia bersama BUMDES pun kemudian mencoba manghimpun minyak jelantah dari daerah lain seperti Gunung Kidul, Purworejo dan Temanggung serta industri kuliner seperti rumah makan dan hotel. "Selain untuk meminimalisir pencemaran lingkungan, program ini juga untuk menekan peredaran minyak jelantah yang direkondisi dan dipergunakan kembali untuk dikonsumsi. Karena, minyak rekondisi tentu tidak baik bagi kesehatan jika dikonsumsi," ucapnya.

Wayhudi pun mengatakan, seluruh minyak hasil daur ulangnya selama ini disalurkan untuk keperluan industri, salah satunya adalah PT Tirta Investama (Danone Aqua). Minyak jelantah yang telah dimurnikan itu dijual oleh BUMDES seharga Rp 7.250 per liter.

Direktur Pembangunan Berkelanjutan Danone Indonesia, Karyanto Wibowo mengatakan, Danone Aqua telah menggunakan minyak jelantah hasil pengolahan BUMDES Panggung Lestari sejak 2014. "Hingga saat ini, pabrik yang sudah menggunakan bahan bakar alternatif ini adalah pabrik di Klaten, Jawa Tengah," kata Karyanto.

Bahan bakar itu digunakan sebagai bahan bakar campuran pada mesin genset, forklift dan boiler. Menurutnya, saat ini volume R-UCO yang digunakan adalah sebanyak 20 persen dari kebutuhan total solar untuk peralatan di pabrik. Itu artinya, saat ini R-UCO masih di oplos dengan solar industri yang beredar di pasaran.

Mulai tahun depan, lanjut dia, pabrik di Klaten berencana untuk tak langi menggunakan bahan bakar oplosan alias akan mengunakan R-UCO 100 persen. Komitmen itu pun dibuktikan dengan penyaluran bantuan berupa alan produksi yang lebih canggih dan memiliki kapasitas produksi yang lebih besar. Sehingga, BUMDES Panggung Lestari dapat meningkatkan kualitas serta kuantitas produksinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement