Rabu 06 Sep 2017 12:50 WIB

Masyarakat Sipil Gugat Ambang Batas Pencapresan ke MK

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bilal Ramadhan
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat pemerhati Pemilu mengajukan permohonan uji materi atas pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (6/9). Pasal tersebut mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) sebesar 20 jumlah kursi DPR dan 25 persen perolehan suara sah Pemilu sebelumnya.

Gugatan tersebut diajukan oleh dua orang pemohon atas nama pribadi, yakni mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay dan aktivis Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan Politik (Ansipol), Yuda Irlang. Selai itu, ada dua lembaga yang mengajukan uni materi, yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif).

"Menurut pandangan kami dalam aturan UU yang sesuai konstitusi seharusnya tidak bisa jika syarat parpol atau gabungan parpol harus punya 20 persen kursi atau 25 persen suara, apalagi sekarang Pemilu dilaksanakan serentak. Seharusnya setiap parpol yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu bisa sendiri atau bersama mencalonkan tanpa syarat 20 persen kursi atau 25 persen suara nasional," jelas Hadar di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (6/9).

Pasal 222 berbunyi ''Pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya''. Menurut Hadar, pasal ini bertentangan dengan pasal 26 A ayat 2, pasal 22 E ayat 1 dan ayat 2, pasal 27 ayat 1, pasal 28D ayat 1, dan pasal 28D ayat 3 UUD 1945.

Dia melanjutkan, ambang batas pencalonan presiden sudah diuji beberapa kali di MK dan sudah diputuskan dalam putusan nomor 13 Tahun 2014 berlaku sebagai politik hukum terbuka. Dengan begitu bisa saja ada penyesuaian terhadap munculnya peraturan baru.

"Namun, jika membaca putusan itu harus sesuai dengan konstitusi secara keseluruhan. Kalau dilihat separuh, dan Pemilu dilakukan terpisah maka bisa saja," tutur Hadar.

Dia berpendapat, seharusnya sifat politik hukum terbuka didasarkan kepada persyaratan berdasarkan kondisi yang ada saat ini. "Mengukur kekuatan parpol lima tahun yang lalu tidak sama dengan sekarang, kami memandang putusan MK sebagai politik hukum terbuka tidak berdiri sendiri. Memahaminya harus melihat konteks konstitusi secara keseluruhan," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement