REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nelayan di Jakarta Utara menyayangkan penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) pulau reklamasi C dan D pada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Penerbitan sertifikat itu memupus asa nelayan akan harapannya kepada Sang Presiden.
"(Pemerintah) tak memikirkan kami masyarakat kecil, hanya memikirkan pengusaha besar," kata Iwan, nelayan Muara Angke yang terdampak reklamasi, dalam keterangan pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (30/8).
Iwan mengatakan, sebagian besar nelayan di daerahnya mengaku kaget atas terbitnya sertifikat untuk pulau hasil reklamasi Teluk Jakarta. Mereka tak menyangka pemimpin yang dianggapnya dekat dengan rakyat sejak menjabat wali kota Solo itu justru berpihak ke yang lain.
"Yang dipikirkan sekarang orang besar yang merusak lingkungan dan hidup nelayan, nggak berpihak ke nelayan dan masyarakat kecil," ujar Iwan.
Di keterangan pers bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang dihadiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Rujak Center for Urban Studies, Iwan menyatakan akan terus melawan. Ia meminta ke lembaga-lembaga tersebut untuk membantunya. "Nelayan mau berlindung ke siapa dan meminta bantuan siapa lagi. Tamat riwayat nelayan di Teluk Jakarta," ujar dia.
Badan Pertanahan Wilayah (BPN) Provinsi DKI Jakarta menyatakan penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau D seluas 3,12 juta meter persegi kepada pengembang sudah sesuai aturan yang berlaku. Penerbitan sertifikat tersebut didasari dengan HPL yang terbit sebelumnya.
Sertifikat untuk Pulau 2A (Pulau D) itu diberikan kepada PT Kapuk Naga Indah sebagai pengembang pulau hasil reklamasi tersebut. Sertifikat HGB bernomor 6226 itu dikeluarkan tanpa ada tanggal berakhirnya hak. Sertifikat tersebut ditandatangani Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara Kasten Situmorang dengan nomor 23-08-2017.-1687/HGB/BPN-09.05/2017.- pada 24 Agustus 2017.