REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat militer dari Universitas Padjadjaran, Muradi berpendapat ada tiga hal terkait pengajuan Rancangan Undang-Undang Bela Negara atau wajib militer (Wamil) yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Menurutnya, ada ada tiga hal yang terkait dengan wacana wamil ini. Pertama, wamil terkait dengan hak dan kewajiban negara dalam kaitannya dengan membela negara. Karena itu, masyarakat akan dibekali dan diajari berbagai hal terkait bela negara seandainya terjadi invasi, meskipun kecil kemungkinannya.
"Kedua, wamil juga berkaitan dengan efisiensi organisasi. Tentara reguler akan diberikan tunjangan rutin meskipun tidak ada ancaman yang serius," kata Muradi kepada ROL, Ahad (1/2).
Selain itu, proses mekanisme ancaman yang diterima negara itu sendiri telah berubah. Sebelumnya ada yang dinamakan traditional security threats atau ancaman keamanan tradisional terhadap negara yang biasanya berupa invasi dan lain sebagainya. "Tetapi, saat ini, pola sudah mulai berubah menjadi non-traditional security threats," ucap dia.
Perubahan ini perlu diikuti dengan perubahan pola dan metodologi juga dalam sistem pertahanan. Misalnya dengan komando siber nasional yang saat ini belum dimiliki negara. Muradi menilai kecil kemungkinan jika semua hal ini dikelola oleh tentara reguler.
Karena itu dibutuhkan tentara non-reguler dari wamil untuk membantu. Dan karena bersifat wajib, negara tidak mengeluarkan terlalu banyak anggaran untuk wamil.
Adanya peserta wamil yang memiliki kualifikasi untuk wajib militer, juga membantu negara untuk tidak perlu lagi menggunakan banyak tentara reguler yang perlu pembiayaan rutin besar. Posisi-posisi tertentu dalam militer bisa diisi oleh peserta wamil yang memiliki kualifikasi.
Ketiga, wamil merupakan bagian dari realitas bahwa semua komponen masyarakat punya kecendrungan utnuk terlibat dalam pengamanan negara. Muradi menyatakan wamil bukanlah militerisme militer atas sipil melainkan sebuah kebutuhan.
Jika negara hanya memanfaatkan tentara reguler, tentu akan ada biaya rutin seperti gaji yang harus dikeluarkan negara, dan risikonya ialah anggaran yang luar biasa besar.
Muradi menjelaskan wamil sebenarnya perlahan-lahan dapat menggantikan atau mengurangi pemberdayaan tentara reguler. Di Jerman misalnya, pemerintah berhasil mengurangi hampir 150 ribu tentara reguler yang digantikan oleh wamil dan komponen cadangan.
Para peserta wamil tentunya tidak perlu dibayar rutin lagi oleh negara karena sudah mendapatkan gaji dari tempatnya bekerja. Sedangkan tentara reguler, mulai dari rekrutmen hingga pensiun dibayarkan oleh negara, dan itu menyebabkan pengeluaran yang tinggi. "Karena itu model wamil atau komponen cadangan ini kemudian menjadi alternatif di banyak negara," jelas Muradi.