REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Ashiddiqqie menanggapi penangkapan Ketua MK Akil Mochtar dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semalam.
Akil dicokok KPK bersama dengan dua orang lainnya, yakni politikus Partai Golkar Chairunnisa dan seorang pengusaha kediamannya di Komplek Menteri, jalan Widya Chandra III, Jakarta, Rabu (2/10), pukul 22.00 WIB.
''Akil selaku pimpinan tertinggi hukum harus dituntut maksimal yakni hukum mati,'' kata Jimly saat dihubungi Republika melalui pesan singkat, Kamis (3/10).
Penangkapan Akil diduga terkait suap sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. ''Saya mendapat kabar ini semalam, banyak sms memberi tahu saya. Tentu saya seperti disambar petir. Perbuatan Akil sangat memalukan,'' ujar Jimly.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini mengaku sedih, lembaga hukum negara yang dipandang masyarakat bersih dan memiliki wibawa kini tercoreng sudah.
''KPK harus menuntut pidana mati buat Akil. Walaupun di Undang-Undang (UU) tidak ada soal tuntutan mati, tapi penuntut boleh minta ke hakim. Nanti serahkan kepada hakim kebijaksanaannya,'' tutur Jimly.
Menurut Jimly, MK adalah lembaga hukum, tentu hukuman harus maksimal bagi hakim yang melakukan pidana korupsi.
''Ketua MK itu jabatan paling tinggi, pidana mati akan memberi efek jera. Nanti serahkan pada hakim, mau dipenuhi atau tidak,'' ujarnya sambil berharap, masyarakat tetap percaya dengan hukum dan keberadaan MK.