REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aparat kepolisian menyatakan kasus peledakan di SMAN 72 Jakarta tidak memiliki keterkaitan dengan jaringan terorisme. Pelaku yang telah ditetapkan sebagai anak berkonflik dengan hukum (ABH) itu disebut melakukan aksinya secara mandiri.
Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti, menilai kesimpulan polisi itu terlalu prematur. Ia menilai, banyak kejanggalan jika kasus itu disimpulkan peledakan itu dilakukan hanya karena pelaku merasa kesepian dan aksi itu tanpa ada keterlibatan pihak tertentu.
"Saya menilai pernyataan ini terlalu prematur," kata dia melalui keterangannya kepada Republika, Kamis (13/11/2025).
Ia menyebutkan, salah satu kejanggalan dari kesimpulan polisi adalah ABH merupakan siswa jurusan IPS, yang notabene tidak terlalu mempelajari materi IPA. Namun, ABH itu mampu membuat tujuh buah bom.
Menurut Retno, pembuatan bom merupakan hal tidak mudah dilakukan. Bahkan, seorang guru kimia disebut belum tentu mampu merakit bahan peledak, apalagi yang dikendalikan menggunakan remot.
"Kalau pun dibuat dengan tutorial YouTube, pasti harus ada yang membantu. Tidak mungkin dilakukan sendiri dengan kualitas bom yang daya ledaknya sampai melukai berpuluh-puluh orang," ujar dia.
Selain itu, Retno tidak yakin ABH itu dapat membeli seluruh bahan untuk merakit bom itu seorang diri. Pasalnya, harga sejumlah material untuk merakit bom cukup mahal. Sementara itu, ABH diketahui sebagai penerima KJP.
View this post on Instagram