Menggunakan teropong binokular, Evelyn, melihat puluhan jenis burung liar yang terbang di sekitar Ruang Limpah Sungai, Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Ketika berangkat merantau ke Jakarta untuk bekerja, Evelyn tidak menyangka bahwa ia masih bisa melakukan hobi mengamati burung-burung liar.
“Di pikiran saya, Jakarta kota metropolitan maka tidak banyak ruang terbuka hijau (RTH),” kata Evelyn. “Ternyata masih ada sejumlah RTH dan masih cukup banyak jenis burung,” lanjutnya.
Saat ini ada sekitar 134 jenis burung liar yang terbang di sejumlah ruang terbuka di Jakarta. Mereka bisa digolongkan sebagai burung urban atau burung yang terbang di area perkotaan. Jumlahnya memang tidak seberagam burung-burung yang ada di kawasan hutan.
Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia atau dikenal dengan nama Burung Indonesia mencatat pada tahun 2024 ada 1.835 spesies burung di Indonesia. Spesies terbanyak ada di Papua, yakni 707 spesies. Keanekaragaman jenis burung liar bisa jadi penanda lingkungan yang berkualitas.
Ani Mardiastuti, pengajar di Departemen Konservasi dan Sumber Daya Hutan, Institut Pertanian Bogor, menyatakan bahwa beberapa jenis burung urban, seperti betet, cabai jawa, dan raja udangmenandakan area yang masih dipenuhi pohon-pohon rimbun, bunga-bunga, udara cukup baik, serta sungai yang cukup jernih.
“Keberadaan berbagai jenis burung liar ini sangatlah penting. Ada yang sangat efektif membantu penyerbukan dan penyebaran biji. Ada fungsi lain di samping kenyamanan mendengar kicau burung,” kata Ani. “Perlu diingat, ini bukan berarti bila di satu area dipenuhi burung gereja tandanya sehat. Kuncinya adalah keanekaragaman jenis burung,” lanjut Ani.
Burung urban terdesak pembangunan
“Burung-burung di Jakarta ini terisolasi,” kata Ady Kristanto, Koordinator Jakarta Birdwatcher Society (JBS) saat menyebut masalah utama yang dihadapi oleh burung urban.
Pembangunan di perkotaan yang tidak berorientasi pada ruang terbuka hijau yang terintegrasi membuat berbagai jenis burung sulit berinteraksi satu sama lain dan gagal berkembang biak dengan sehat.
Bila berbagai jenis burung berkurang, menurut Ady, dampaknya bisa juga dirasakan manusia. “Muncul berbagai hama mulai dari ulat bulu, tom cat. Ini karena jenis burung pengendalinya telah hilang,” tutur Ady.
Sejak 2005, Ady bersama komunitas JBS rutin melakukan pengamatan dan pendataan burung urban. Setiap bulan komunitas JBS berkunjung ke ruang terbuka hijau dan menemukan puluhan jenis burung urban yang berbeda-beda. Ini dilakukan karena pemerintah belum membangun sistem pendataan keanekaragaman hayati burung.
“Kami yang memberikan data untuk pemerintah,” kata Ady.
JBSmenargetkan untuk menerbitkan atlas burung Jakarta pada 2026, yang salah satu fungsinya adalah untuk memudahkan anak-anak yang hendak mempelajari ekosistem burung urban. “Ini tentu butuh kerja sama berbagai pihak terutama dari sisi pendanaan,” tambahnya Sistem pendataan akan berguna untuk merekam jenis burung urban yang semakin langka. Beberapa di antaranya kerak kerbau dan raja udang.
Area konservasi yang meredup
BirdLife International, lembaga yang fokus pada konservasi burung di dunia menetapkan kawasan Muara Angke dan Pulau Rambut, Jakarta sebagai area penting bagi burung dan biodiversitas (imporant bird and biodiversity area). Dua kawasan tersebut adalah tempat tinggal bagi burung bangau bluwok, salah satu burung pesisir yang ada di Jakarta yang terancam punah.
BirdLife International menyebut bahwa dalam 30 tahun terakhir, populasi burung bangau bluwok telah berkurang lebih dari 50%. Salah satu alasannya adalah aktivitas industri yang ada di sektiar kawasan pesisir.
Status kawasan konservasi yang dimiliki Pulau Rambut tidak menjamin ketahanan populasi burung bangau bluwok. “Ada banyak reklamasi di pesisir utara Jakarta. Hutan lindung pun terbatas,” kata Ridho, tim biodiversitas Burung Indonesia.
“Kawasan suaka margasatwa muara angke pun kondisinya mengenaskan karena pengembangan di perkotaan seperti kawasan permukiman. Ini berdampak sekali terhadap biodiversitas,” lanjut Ridho.
Ia mengingat ketika datang ke Pulau Rambut pada dekade 2010-an, pemandangan dari menara pemantau adalah burung bangau bluwok yang hinggap dan bersarang di pucuk pohon mangrove. “Putih semua. Sekarang sudah jauh berkurang,” tutur Ridho.
Kini para penjaga kawasan konservasi Pulau Rambut memperkirakan burung bangau bluwok semakin sulit mencari makan di area pesisir Jakarta dan memutuskan bergeser ke Sumatera. “Mungkin karena di sana perubahan lahannya tidak sesignifikan di Jakarta,” kata Ridho.
Ia meyakini bahwa ruang terbuka hijau yang idel bagi keanekaragaman hayati burung perlu diupayakan oleh pemerintah. “Bukan hanya area hijau yang estetik tetapi juga terkoneksi satu sama lain dengan dibangunnya jalur hijau maupun area pinggiran sungai,” kata Ridho. Di samping itu yang dibutuhkan juga keanekaragaman jenis tumbuhan yang memungkinkan berbagai jenis burung urban hidup di ruang terbuka hijau.
Editor: Prita Kusumaputri