Dari serangan jantung dan kelelahan akibat panas hingga gangguan kesehatan mental dan penyebaran penyakit tropis, krisis iklim kini mengancam semakin banyak orang di seluruh dunia, menurut laporan yang dirilis pada Rabu (29/10).
Sebanyak 128 ilmuwan terkemuka di balik Lancet Countdown Report memperingatkan bahwa dampak kenaikan suhu global terhadap kesehatan manusia belum pernah seburuk ini.
"Evaluasi kesehatan tahun ini menggambarkan situasi suram yang tak terbantahkan, dengan dampak kesehatan yang menghancurkan terjadi di seluruh penjuru dunia,” kata Marina Romanello, Direktur Eksekutif Lancet Countdown, lembaga riset independen yang berbasis di University College London.
Menurut analisis tersebut, kematian akibat panas meningkat 23 persen sejak 1990-an, dengan suhu tinggi menyebabkan lebih dari setengah juta kematian setiap tahun. Asap kebakaran hutan dikaitkan dengan rekor 154 ribu kematian pada 2024, sementara polusi udara akibat pembakaran bahan bakar fosil menewaskan 2,5 juta orang setiap tahun.
Risiko kesehatan meningkat dalam setahun terakhir
"Kita menyaksikan jutaan kematian yang sebenarnya bisa dihindari setiap tahun karena ketergantungan kita yang terus berlanjut pada bahan bakar fosil, karena keterlambatan kita dalam mengurangi emisi, dan karena lambannya adaptasi terhadap perubahan iklim yang tak bisa lagi dihindari,” ujar Romanello.
Laporan Lancet Countdown dianggap sebagai indikator penting yang menyoroti keterkaitan antara kesehatan dan pemanasan global. Hubungan ini semakin nyata seiring dampak perubahan iklim akibat pembakaran batu bara, minyak, dan gas terus meluas di seluruh dunia.
Tahun lalu tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, dengan kadar CO2 di atmosfer mencapai rekor tertinggi. Rata-rata setiap orang mengalami tambahan 16 hari panas ekstrem yang berisiko bagi kesehatan akibat perubahan iklim. Kelompok rentan seperti bayi dan lansia bahkan menghadapi rata-rata 20 hari panas ekstrem tambahan.
Laporan itu menyebutkan, 13 dari 20 indikator risiko kesehatan manusia meningkat signifikan dalam satu tahun terakhir. "Yang paling mengkhawatirkan adalah hampir semua indikator menunjukkan arah yang salah,” jelas Romanello.
Dampak terhadap kesehatan dan ekonomi
Perubahan iklim memperparah cuaca ekstrem yang makin sering dan intens di berbagai belahan dunia.
Gelombang panas, bentuk cuaca ekstrem paling mematikan, dapat membuat tubuh kepanasan, membebani organ vital, dan mengganggu tidur. Banjir besar seperti yang terjadi di Pakistan tahun ini bisa mencemari air minum dan memicu penyebaran penyakit, sementara kekeringan memperburuk malnutrisi dan kelaparan akibat gagal panen. Asap kebakaran hutan yang pada 2024 membakar area lebih luas dari India dapat merusak paru-paru, jantung, bahkan membahayakan janin dalam kandungan.
Setelah bencana terkait cuaca, gangguan listrik dan kerusakan infrastruktur sering kali menghambat akses terhadap layanan dan pasokan medis. Romanello menambahkan, sebagian besar korban cuaca ekstrem di dunia tidak memiliki asuransi kesehatan sehingga mereka lebih rentan terhadap risiko penyakit.
Risiko ini tidak hanya menelan korban jiwa tetapi juga berdampak besar pada ekonomi. Kekurangan air atau pangan serta kondisi sanitasi yang buruk setelah bencana menimbulkan kerugian ratusan miliar dolar AS setiap tahun. Hanya dari gelombang panas saja, kerugiannya diperkirakan mencapai lebih dari satu triliun dolar AS pada 2024, atau sekitar 1 persen dari output ekonomi global, akibat hilangnya produktivitas karena penyakit dan absensi kerja.
Demam berdarah dan penyakit tropis semakin meluas
Nyamuk, kutu, dan lalat pasir, sebagian di antaranya menularkan penyakit menular berbahaya, kini menyebar ke wilayah yang lebih luas seiring kenaikan suhu.
Pekan lalu, nyamuk untuk pertama kalinya tercatat di Islandia, yang oleh para peneliti dikaitkan dengan perubahan iklim. Seiring suhu yang lebih hangat membuka habitat baru bagi serangga, jumlah penderita demam berdarah, malaria, leishmaniasis, dan penyakit lainnya meningkat di seluruh dunia.
Pada 2024, tercatat rekor kasus demam berdarah global dengan lebih dari 7,6 juta infeksi. "Kita tahu bahwa perubahan iklim menjadi pemicu sebagian dari penyebaran itu,” kata Romanello.
Meskipun tidak semua infeksi berakibat fatal, banyak penderita yang tidak dapat bekerja selama berminggu-minggu dan hal ini berdampak besar terhadap ekonomi. Menurut laporan itu, potensi penularan demam berdarah secara global meningkat 49 persen sejak 1950-an.
Dampak pada kesehatan mental
Perubahan iklim juga meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental.
"Ketika seseorang mengalami bencana cuaca ekstrem seperti kebakaran hutan, badai, monsun, topan, atau banjir besar, hal itu dapat menyebabkan gangguan stres pascatrauma,” kata Jenni Miller, Direktur Eksekutif Global Climate and Health Alliance, organisasi nirlaba asal Amerika Serikat.
Panen yang gagal akibat kekeringan, kekurangan air, atau hilangnya mata pencaharian dapat memicu kecemasan dan menyebabkan gangguan mental secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya tidur akibat malam yang terlalu panas, menurut laporan tersebut.
Seruan untuk mencegah penyakit dan kematian lebih lanjut
Para penulis laporan menyerukan tiga langkah utama untuk mengurangi dampak kesehatan akibat krisis iklim.
Pertama, energi terbarukan harus diperluas untuk menekan kenaikan suhu global. Energi bersih yang berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir telah membantu mengurangi polusi udara dan mencegah lebih dari 160 ribu kematian antara 2010 hingga 2022, menurut Romanello.
Langkah adaptasi terhadap perubahan iklim seperti menyesuaikan bangunan tempat tinggal dan infrastruktur publik agar tahan terhadap cuaca ekstrem juga perlu segera dipercepat. Terakhir, sistem layanan kesehatan di seluruh dunia harus diperkuat agar siap menghadapi tantangan tambahan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara
Editor: Prihardani Tuah Purba