Ahad 02 Nov 2025 21:32 WIB

Belajar Bahasa, Warga Jerman Dalami Realita Sosial di Indonesia

Kelas Bahasa Indonesia di Jerman tidak cuma mengajarkan kalimat dan kata-kata. Bagi mahasiswa Jerman, kelas bahasa ikut menjadi jembatan dua dunia dan realita yang berbeda.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Sorta Caroline/DW
Sorta Caroline/DW

Siang itu, kelas bahasa di Universitas Humboldt di Berlin, Jerman, sedang penuh. Sebanyak 13 mahasiswa duduk menghadap Esie Hanstain yang sudah menunggu dengan bahan hari itu.

"Tema kita hari ini adalah kebajikan yang spontan,” kata perempuan Indonesia itu, ketika membuka pelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) . Dia lalu membagikan secarik kertas berisikan sejumlah cerita singkat sarat nilai-nilai kemanusiaan.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Begitu esai pertama dibaca, salah seorang mahasiswa menuturkan kisah tukang sampah di Indonesia yang bekerja hingga larut malam. “Saya merasa iba dan spontan memberinya baju dan makanan,” ucapnya. Namun apa yang lumrah dalam kehidupan sosial di Indonesia, justru mengundang tanya di Eropa yang mapan dan kaya.

"Kenapa tukang sampah harus dikasih baju? Memangnya mereka tidak punya seragam?” sela seorang mahasiswi Jerman penuh tanya.

Di sinilah dimensi sosial budaya —bukan hanya bahasa— mulai terdengar jelas. Esie dengan tenang menjelaskan perbedaan kondisi antara tukang sampah di Berlin dan Indonesia.

"Kalau di Berlin tukang sampah hidupnya sejahtera, mereka mendapat gaji yang sepadan, mendapat seragam, bekerja dengan waktu yang jelas menggunakan mobil pengangkut - berbeda sekali dengan situasi di Indonesia. Tukang sampah kerja begitu keras demi dapat uang di hari itu untuk keluarga mereka,” jelas Esie.

Melalui kelas bahasa di Berlin, para mahasiswa tidak hanya belajar bertutur, tapi juga berkonfrontasi dengan perbedaan realita di Indonesia, tentang kebiasaan, tradisi, kebudayaan atau bahkan kemiskinan struktural yang hampir tidak ditemui di Jerman.

Meski sudah hampir 28 tahun mengajar Bahasa Indonesia, Esie tetap merasa tertantang oleh sikap kritis mahasiswa Jerman. "Kita harus bisa memuaskan pertanyaan mereka dengan jawaban yang akurat. Jadi mengajar Bahasa Indonesia harus siap jiwa, raga, dan terus perbarui ilmu pengetahuan - kita di sini mempresentasikan Indonesia,” tegasnya.

Awalnya, dia tidak terpikir untuk mengajar Bahasa Indonesia. Ia mengagumi Prof. Erich Dietrich Krause, penulis kamus Jerman-Indonesia. Kamus itu pernah dipinjamkan guru bahasa Jermannya di Pontianak, Kalimantan Barat. Tanpa pernah bertemu, ia hanya bisa membayangkan seperti apa rupa penulis kamus asal Jerman tersebut.

Mimpi Esie terjawab, saat berkesempatan mengunjungi Jerman untuk mengambil data skripsi dan berhasil juga menemui sang Profesor. Dia bahkan ditawarkan bekerja menjadi tenaga pengajar bahasa Indonesia di Universitas Leipzig. "Skripsi selesai di tahun 1996 lalu saya lanjut belajar DaF (Bahasa Jerman bagi Penutur Asing) selama setahun. Saya mulai resmi mengajar di tahun 1998 di Uni Leipzig. 2019 saya mulai mengajar juga di Humbolt Universität Berlin,” jelas perempuan asal Pontianak ini.

Belajar tidak melulu di ruang kelas

Menurut laporan kebahasaan dan kesastraaan 2024 Kemendibudristek terdapat 21 institusi BIPA di Jerman. Jerman menduduki posisi ketujuh negara jumlah lembaga BIPA terbanyak di dunia, setelah AS (26), Filipina (35), Timor Leste (41). Posisi pertama masih diduduki Australia dengan total 115 lembaga BIPA. BIPA tidak hanya diajarkan di universitas tetapi juga di Rumah Budaya Indonesia (RBI) yang dikelola perwakilan RI.

Pelajaran bahasa Indonesia di Jerman tidak terbatas pada kata dan kalimat, melainkan juga sebagai jembatan menuju pemahaman mendasar akan tradisi, kebiasaan, dan nilai-nilai hidup masyarakat Indonesia.

"Hari ini kita buat batagor ya” kata Boy sembari sigap membagikan resep, "Siapa mau mengadon? Siapa mau menggoreng? Bisa tolong ada yang memotong wortel?”

Hari itu, kelas bahasa di Rumah Budaya Indonesia menawarkan pelajaran memasak. Sebanyak 12 orang yang hadir sibuk berbagi tugas sembari berkonsentrasi mendengarkan arahan Boy Try Rizky. Dia bertugas menjelaskan bahan-bahan dan proses memasak dalam bahasa Indonesia.

Boy sudah hampir dua tahun menjadi pengajar BIPA di RBI Berlin. Sebelumnya ia mengajar bahasa di Kedutaan Besar Indonesia di Kopenhagen, Denmark.

Sekarang Boy tengah mengejar gelar doktor di bidang linguistik, sembari mengajar BIPA di RBI Berlin. "Saya ingin memperkenalkan bahasa Indonesia lewat budayanya juga, masak itu mencerminkan kebudayaan orang Indonesia. Orang Indonesia itu kalau enggak ngomongin orang, ngomongin makanan,” jelasnya saat ditanya kenapa mengajar lewat memasak.

Selain memasak, kelas BIPA juga mengundang partisipasi warga Jerman pada acara kebudayaan Indonesia, seperti mengunjungi Taman Bali, Pura Tri Hita Karana, di kompleks Garten der Welt atau menyimak ritual yang diorganisir masyarakat Bali di Berlin.

Tak terbatas di Jerman, mahasiswa BIPA juga bisa melakukan ekskursi ke Indonesia atas biaya universitas - hal yang selama bertahun-tahun diperjuangkan Esie. "Sulit sekali prosesnya, sempat ditolak tapi saya coba terus ajukan ke universitas agar mahasiswa ini bisa melihat Indonesia secara langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di sana.”

Berkat kerja kerasnya, akhirnya pada September lalu, ia berhasil membawa 10 mahasiswa terbaiknya untuk mengunjungi Indonesia. Mereka mengunjungi sejumlah universitas, Badan Bahasa Indonesia, hingga melakukan berberapa proyek sosial dan kemanusiaan di sebuah panti asuhan anak di Pontianak. Setiap mahasiswa mendapatkan dana bantuan dari universitas sebesar 975 Euro (Rp 18.9 juta) untuk mengikuti program selama dua minggu penuh di Indonesia.

"Perjalanan ini bukan program senang-senang ya! Mereka harus mempresentasikan dan berdiskusi dengan para mahasiswa di universitas-universitas di Indonesia mengenai Green Campus dan Sustainable Development Goal (SDG) di Indonesia. Mereka pun harus menulis esai seputar tema SDG tersebut misalkan tentang reboisasi, mengurangi jejak CO2, pengurangan penggunaan plastik, melindungi keanekaragaman hayati ... dalam bahasa Indonesia,” tegas Esie.

Kenapa orang Jerman ingin belajar Bahasa Indonesia?

"Saya belajar bahasa Indonesia karena orang Indonesia adalah orang terramah di dunia dan saya suka alam di Indonesia - saya berharap punya pengalaman kerja dengan bahasa Indonesia,” jelas Marc seorang mahasiswa kelas BIPA.

Beberapa mahasiswa yang mengikuti kelas BI ingin melakukan penelitian di Indonesia baik di bidang sosial maupun sains. Mereka berharap bisa berinteraksi langsung menggunakan bahasa Indonesia dengan penduduk setempat.

"Saya pikir, berbicara bahasa Indonesia sulit karena orang Indonesia berbicara cepat - saya kira menulis kurang sulit,” jelas Lin. Sedang menurut murid BIPA lainnya, "Bahasa Indonesia tidak sulit, yang sulit kalau sudah ditambah imbuhan akhiran dan artinya jadi berbeda ‘dibuka' ‘bukakan' ‘pembukaan',”kata Shere asal Inggris.

Selain untuk melakukan penelitian di Indonesia, banyak yang mengambil kelas BI di luar universitas karena ingin mengenal lebih jauh budaya Indonesia dan ingin mengerti lebih baik pasangan atau anggota keluarga mereka. "Saya mau lebih mengerti saat saya bicara dengan orang tua pacar saya,” kata Christopher. "Ayah saya orang Indonesia dan ibu saya orang Jerman, kami sering pulang ke Indonesia dan saya ingin lebih terhubung dengan keluarga Indonesia saya di sana,” kata Eric.

'Jurang' bahasa formal dan non-formal

Baik Boy dan Esie mengakui memang ada ‘jurang' bahasa antara bahasa formal yang sesuai kaidah yang berlaku dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. "Para pelajar itu biasanya sudah punya relasi atau teman-teman Indonesia - ketika bertemu langsung dengan orang Indonesia ‘loh kok Bahasa Indonesia yang diajarkan di kelas dengan kenyataannya berbeda?' Salah satu masalahnya mungkin karena banyak orang Indonesia yang tidak pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar,” jelas Boy.

"Kita terbiasa berbicara tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang benar, bagi orang asing ini membingungkan,” jelas Esie dari pengalamannya puluhan tahun mengajar BI di Jerman.

"Tantangannya orang Indonesia itu sendiri baik yang di Indonesia maupun yang di Jerman. Kerap pakai bahasa indonesia yang tidak baku, tidak pakai kosakata dan tata bahasa yang benar. Mahasiswa jadi bingung. Ditambah pengaruh GenZ yang menggunakan kata-kata yang disingkat dengan konteks yang membingungkan, bilang ‘otw' padahal masih di rumah, kata ‘kalcer'?”

Hal-hal yang kerap dianggap remeh seperti penggunaan awalan di- yang kerap dipisah padahal penggunaannya bukan untuk menunjukkan tempat tapi untuk kata pasif seperti ‘dimakan'. Atau sekadar mereka tidak begitu paham perbedaan kata ‘kami' dan ‘kita' yang sesungguhnya menjadi keistimewaan tersendiri dałam Bahasa Indonesia.

Jelang akhir kelas Bahasa Indonesia, seorang mahasiswa lanjut membacakan teks tentang kebaikan spontan yang dibagikan Esie, “Waktu naik kereta api, saya melihat seorang Ibu terjatuh…”

“Sebentar Lin, berhenti dulu, ada yang salah dengan kalimat itu, di mana kesalahannya?” sela Esie.

Sejenak kelas hening, mereka berusaha mencari jawaban pertanyaan Esie.

Lebih tepat, “Sewaktu menaiki kereta api… Sewaktu lebih presisi, kalau bahasa Jerman-nya ‘wahrend’ lalu jangan kita lupakan awalan me- dan akhiran -i -nya ya” jawab Esie.

Editor: Rizki Nugraha

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement