Sudah 10 tahun sejak dunia berjanji — di Paris, pada tahun 2015 — untuk menahan panas Bumi agar tak melampaui 1,5 derajat. Namun, direktur program iklim PBB (UNFCCC) mengatakan meski telah menghasilkan kemajuan nyata, "Perjanjian Paris harus diberlakukan lebih cepat dan adil.”
"Walaupun tren membaik setiap tahunnya, kita didesak untuk melangkah lebih cepat dan membantu lebih banyak negara mengambil tindakan iklim,” kata Simon Stiell dalam pernyataan yang dirilis bersamaan dengan laporan analisa target iklim PBB terbaru. Laporan tersebut menganalisa target iklim yang disampaikan oleh negara-negara yang menyepakati Paris Agreement.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Dalam Perjanjian Paris yang disepakati bersama pada tahun 2015 tersebut, para pemimpin dunia berjanji untuk menekan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celsius dan menahannya di angka 1,5 derajat.
Di bawah perjanjian tersebut, negara-negara di dunia sepakat memperbarui dan menginformasikan target iklim mereka setiap lima tahun. Tenggat pengajuan target iklim nasional sebenarnya jatuh pada awal tahun 2025, tetapi masih banyak negara yang belum menyampaikan target iklim dan komitmen mengurangi emisi nasional.
Emisi dari pembakaran batu bara, gas, dan minyak mendorong perubahan iklim Bumi serta menyebabkan peningkatan kekeringan, banjir, badai, dan gelombang panas mematikan.
Negara-negara yang tertinggal dalam penyampaian target
Dengan waktu kurang lebih satu minggu sebelum konferensi iklim internasional COP30 dimulai di Kota Belém, Brasil, baru 65 negara yang menyerahkan target iklim mereka. Jumlah ini mewakili sekitar 36% dari total emisi global, menurut analis World Resources Institute (WRI) yang memantau pengajuan tersebut.
Jika target-target tersebut dilaksanakan, maka akan terjadi pengurangan sekitar 10% emisi global pada tahun 2035, menurut laporan PBB.
"Transisi sedang berlangsung, progres sedang berlangsung,” kata Melanie Robinson, Direktur Program Iklim Global, Ekonomi, dan Keuangan WRI, sambil menyinggung investasi energi surya, kendaraan listrik, dan pembiayaan iklim. Namun, ia menambahkan bahwa progres tersebut belum cukup cepat.
Konsekuensi melewati ambang batas 1,5 derajat
Dalam wawancara eksklusif dengan media Inggris, The Guardian, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa "tidak dapat dipungkiri” dunia melewati ambang batas kenaikan suhu 1,5 derajat yang telah disepakati.
"Mari kita akui kegagalan kita. Faktanya, kita telah gagal mencegah kenaikan suhu di atas 1,5°C dalam beberapa tahun ke depan. Melampaui 1,5°C punya konsekuensinya yang merusak. Konsekuensinya adalah titik krisis bencana baik di Amazon, Greenland, Antarktika bagian barat, juga terumbu karang,” ujarnya.
Uni Eropa, Cina, dan India termasuk di antara penghasil emisi terbesar yang belum secara resmi menyerahkan target nasional mereka.
Uni Eropa mengeluarkan pernyataan pada bulan September yang menunjukkan rencana untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 66,25% hingga 72,5% dibandingkan level emisi di tahun 1990. Direktur regional WRI untuk Eropa, Stientje van Veldhoven, mengatakan pernyataan tersebut menunjukkan UE memberi "ruang untuk progres,” tetapi pernyataan niat tersebut belum memiliki kepastian dan dapat "mengirim pesan yang membingungkan, mengikis kepercayaan investor, serta melemahkan lapangan kerja, keamanan energi, dan daya saing.”
Siapa yang sudah menetapkan target baru dan siapa yang belum
Selama Pekan Iklim di New York pada bulan September, Presiden Cina Xi Jinping juga mengumumkan niat Cina untuk mengurangi emisi sebesar 7% hingga 10% dari puncaknya. Target tersebut dikritik terlalu rendah. Analis mengatakan kepada DW bahwa Cina kemungkinan akan memenuhi bahkan melampaui komitmennya.
Indonesia telah menyampaikan target iklim nasionalnya pada sekretariat UNFCCC pada 20 Oktober lalu. Dalam dokumen terbaru, Indonesia tidak lagi menargetkan penurunan emisi berdasarkan skenario business as usual (BAU), melainkan menetapkan jumlah absolut emisi Gas Rumah Kaca pada 2035 dengan acuan jumlah emisi di tahun 2019.
Indonesia mengajukan tiga skenario, dua skenario bersyarat justru menunjukkan kenaikan emisi hingga 2030, dengan puncak emisi baru terjadi sekitar 2035. Pada skenario pertumbuhan ekonomi tinggi (8%), emisi bersih diproyeksikan mencapai 1,49 miliar ton setara karbon dioksida, sementara tanpa penyerapan sektor kehutanan bisa mencapai 1,7 miliar ton.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai rencana Indonesia masih tergolong tinggi karbon karena terlalu bergantung pada serapan hutan dan menunda upaya nyata penurunan emisi hingga setelah 2035.
Negara penghasil emisi besar yang telah secara resmi menyampaikan komitmen mereka di bawah UNFCCC seperti Australia dan Jepang turut dikritik karena dianggap belum cukup ambisius dan belum melakukan bagian mereka secara adil.
Melanie Robinson dari WRI menambahkan bahwa meskipun pengajuan resmi dari para penghasil emisi besar seperti Cina dan Uni Eropa diharapkan akan datang sebelum atau selama konferensi COP dan akan membantu menurunkan emisi, masih ada kesenjangan yang perlu ditutup.
"Kami menilai para pemimpin dunia harus menyepakati respons global yang tegas untuk kembali ke jalur yang benar,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa negara-negara perlu menegaskan kembali target 1,5 derajat, mempercepat strategi pengurangan emisi secara lebih spesifik per sektor, dan memperjelas jalur menuju target net zero domestik.
Namun, dalam analisisnya, PBB menyebut bahwa NDC (kontribusi nasional) terbaru menunjukkan "kemajuan dalam hal kualitas, kredibilitas, dan cakupan ekonomi.”
Meskipun janji pengurangan emisi sering menjadi sorotan utama, dalam pertemuan COP ini negara-negara juga menyertakan target untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim serta menyediakan pendanaan bagi negara berkembang.
"Gambaran yang lebih luas adalah dunia yang sudah membayar harga mahal akibat pemanasan global, namun juga sedang mendekati titik balik ekonomi yang positif, menuju dunia yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih sejahtera, didukung oleh energi bersih dan ketahanan iklim,” ujar Stiell.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Rizky Nugraha