REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah masih menyusun Peraturan Presiden (perpres) tentang ojek daring atau online (ojol). Salah satu poin utama yang dibahas dalam perpres itu adalah mengenai perlindungan sosial bagi para pengemudi ojol.
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, mengatakan adanya perlindungan sosial tidak harus mengubah status pengemudi ojol dari mitra menjadi karyawan. Menurut dia, perlindungan sosial itu tetap bisa diberikan kepada pengemudi ojol yang berstatus sebagi mitra.
"Yang kami ketahui memang di dalam perpres itu tidak ada bicara, tidak ada menyampaikan, bahwa ojek online ini akan dijadikan statusnya karyawan atau pekerja, tapi tetap menjadi mitra," kata dia saat dihubungi Republika, Kamis (30/10/2025).
Igun menilai, pemberian perlindungan sosial tidak harus selalu diberikan kepada pekerja yang berstatus sebagai karyawan. Asalkan, pemberian perlindungan sosial itu harus jelas skemanya.
Ia mengaku belum mendapatkan informasi yang jelas mengenai pemberian perlindungan sosial itu. Namun, menurut dia, pihak yang paling tepat diberi tanggung jawab dalam memberikan perlindungan sosial itu adalah negara, alih-alih perusahaan aplikator.
"Karena kami juga dari Garda pernah melakukan kajian hukum mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional atau Undang-Undang SJSN, di mana ojek online ini akan masuk sebagai sasaran subsidi dari negara, pemberian subsidi bagi jaminan sosial," kata Igun.
Meski begitu, ia berharap, para pengemudi ojol tetap akan bertatus sebagai mitra meski nantinya ojol akan mendapatkan perlindungan sosial. Pasalnya, perubahan status ojol dari mitra menjadi karyawan itu akan memberikan dampak lain terhadap ekosistem transportasi online.
"Kami juga tidak menginginkan perubahan status," ujar Igun.
Menurut dia, selama ini para pengemudi ojol tidak pernah mendapatkan perlindungan dari aplikator. Bahkan, ketika pengemudi ojol harus menanggung biaya kerugian sendiri ketika mengalami kecelakaan, termasuk saat mengantar konsumen atau pesanan.
Ia menyebutkan, dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 1001 Tahun 2022 tertulis bahwa perusahaan aplikasi diperkenankan mengambil 5 persen lagi dari komisi pengemudi ojol untuk memberikan jaminan sosial atau asuransi. Namun, hal itu dinilai tidak dilaksanakan oleh aplikator.
Padahal, selama ini aplikator membebankan potongan komisi pengemudi ojol sebanyak 20 persen, bahkan lebih. Sementara, potongan ideal yang disepakati adalah 10 persen.
"Jadi memang perpres ini yang kami komunikasikan dengan para para pimpinan DPR ya, bahwa kita meminta adanya perpres tersebut nanti isinya adalah yang pertama pembagian hasil 90 persen ojol, 10 persen aplikator," kata dia.
Ia menambahkan, perpres itu juga harus mengatur sanksi kepada aplikator apabila melanggar regulasi yang ada. Pasalnya, selama ini tidak pernah ada sanksi yang jelas ketika aplikator melanggar aturam yang sudah disepakati. Alhasil, aplikator menjadi sewenang-wenang dalam membuat kebijakan.
"Itu yang menimbulkan gejolak terus di kalangan ojek online hingga saat ini. Karena tidak adanya sanksi, jadi sewenang-wenang. Pemerintah juga tidak bisa berbuat apapun," kata dia.
View this post on Instagram