Selasa 25 Nov 2025 10:34 WIB

Wamenaker: Sistem Bagi Hasil Transportasi Daring Harus Transparan

Perusahaan harus memberikan proporsional dari tarif yang dibayarkan pengguna jasa.

Ribuan massa dari berbagai aliansi ojek online (ojol) menggelar aksi di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (21/9). Aksi tersebut di antaranya menuntut pemerintah untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), berharap pemerintah mengevaluasi tarif yang diberlakukan operator, karena tidak berpihak kepada ojol, serta meminta legalitas atau payung hukum terhadap organisasi serikat pekerja ojol.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Ribuan massa dari berbagai aliansi ojek online (ojol) menggelar aksi di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (21/9). Aksi tersebut di antaranya menuntut pemerintah untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), berharap pemerintah mengevaluasi tarif yang diberlakukan operator, karena tidak berpihak kepada ojol, serta meminta legalitas atau payung hukum terhadap organisasi serikat pekerja ojol.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Afriansyah Noor menegaskan, sistem bagi hasil antara perusahaan dan pengemudi ojek daring (online) harus berlandaskan prinsip keadilan dan transparansi. Pihak perusahaan harus memberikan bagian proporsional dari tarif yang dibayarkan oleh pengguna jasa.

“Salah satu aspek penting yang menjadi fokus kita hari ini adalah sistem bagi hasil dan transparansi tarif,” kata Wamenaker dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (25/11/2025).

Baca Juga

Sesuai rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres), ia mengatakan, pekerja platform juga dijamin kebebasan berserikat dan berorganisasi. Di sisi lain, juga harus diberikan ruang dialog melalui forum komunikasi antara serikat pekerja dan perusahaan.

Pria yang akrab disapa Ferry itu mengatakan, ketentuan tarif ojol hingga kini masih mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 667 Tahun 2022 beserta perubahannya. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa pengaturan biaya jasa di tiga zona serta ketentuan biaya tak langsung berupa sewa aplikasi maksimal 20 persen.

Sementara itu, jaminan sosial bagi pekerja platform belum bersifat wajib, dan iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) serta Jaminan Kematian) (JKM) masih dibayarkan mandiri secara sukarela. Menurut dia, kondisi itu berimplikasi pada rendahnya tingkat kepesertaan, yang pada Mei 2025 baru mencapai sekitar 320 ribu pekerja.

“Di sisi lain, biaya operasional seperti bahan bakar, perawatan kendaraan, cicilan motor, hingga pulsa masih sepenuhnya ditanggung oleh pekerja. Pendapatan pun sangat bergantung pada insentif yang dapat berubah sewaktu-waktu,” ujar dia.

Gambaran tersebut, katanya, menunjukkan pentingnya kehadiran regulasi yang lebih komprehensif, seimbang, dan berorientasi pada keberlanjutan ekosistem transportasi daring.

“Tujuan kita bukan hanya memberikan pelindungan bagi pekerja platform, tetapi juga memastikan keberlangsungan usaha bagi perusahaan aplikator, serta memberikan kepastian tarif bagi masyarakat sebagai pengguna layanan,” ujar dia.

Adapun Kementerian Ketenagakerjaan juga melakukan diskusi bersama para pihak yang terlibat isu ini seperti pekerja, perusahaan penyedia jasa (aplikator) dan pemangku kepentingan lainnya terkait materi muatan dalam Ranperpres tentang Pelindungan Pekerja Transportasi Berbasis Platform Digital.

Hal itu, lanjut dia, membahas pula utamanya mengenai sistem bagi hasil yang menjadi perhatian utama dalam ekosistem transportasi daring saat ini.

“Kami berharap masukan konstruktif dari perusahaan aplikator, pekerja, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyempurnakan rancangan peraturan ini, khususnya terkait sistem bagi hasil yang adil, transparan, dan berkelanjutan bagi seluruh pihak,” katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement