Jumat 24 Oct 2025 01:02 WIB

Trump: Saya akan Putuskan Pembebasan Marwan Barghouti, Abbas tak Layak Pimpin Palestina

Trump inginkan stabilitas kawasan Timur Tengah

Marwan Barghouti (tangan diborgol) dikawal aparat keamanan Zionis Israel.
Foto: getty images
Marwan Barghouti (tangan diborgol) dikawal aparat keamanan Zionis Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah ambisi Knesset menganeksasi Tepi Barat Palestina, Presiden Amerika Donald Trump sedang menimbang keputusan apakah akan membebaskan tahanan yang paling tidak disukai Israel Marwan Barghouti atau membiarkannya terkurung dalam jeruji besi. Hal itu disampaikannya di Gedung Putih, sebagaimana diberitakan TRT World pada Kamis (23/10/2025).

Nama Barghouti kembali mencuat setelah muncul tekanan dari sejumlah negara Arab dan organisasi internasional yang menilai ia dapat menjadi kunci rekonsiliasi politik di Palestina.

Baca Juga

Barghouti dikenal sebagai politikus Palestina terkemuka yang telah menjadi simbol perlawanan terhadap pendudukan Israel, meskipun telah dipenjara selama lebih dari dua dekade. Ia lahir di desa Kobar, Tepi Barat pada tahun 1959 dan sejak usia remaja sudah aktif dalam gerakan politik.

Sebagai anggota senior faksi Fatah, ia memainkan peran penting dalam perpolitikan Palestina. Meskipun berada di balik jeruji besi, pengaruhnya masih kuat dan namanya sering disebut dalam negosiasi pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas.

Pada masa mudanya, Barghouti bergabung dengan Fatah dan ikut mendirikan Gerakan Pemuda saat usianya baru 15 tahun. Akibat aktivitas politiknya ini, ia ditangkap oleh Israel tiga tahun kemudian.

Selama empat tahun masa penahanan pertamanya, Barghouti berhasil menyelesaikan pendidikan menengahnya dan belajar bahasa Ibrani. Setelah dibebaskan, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Birzeit, mendapatkan gelar sarjana dalam bidang sejarah dan ilmu politik pada tahun 1994, dan gelar master dalam hubungan internasional pada tahun 1998.

Barghouti memainkan peran kepemimpinan kunci selama Intifada Pertama pada tahun 1987. Akibat keterlibatannya ini, Israel mendeportasinya ke Yordania. Ia menghabiskan tujuh tahun di Yordania sebelum kembali ke Tepi Barat pada tahun 1994, menyusul Perjanjian Oslo. Perjanjian ini, yang membawa optimisme awal, pada akhirnya memicu frustrasi di kalangan banyak warga Palestina, termasuk Barghouti, karena gagal mewujudkan kemajuan signifikan menuju kemerdekaan.

Ketenaran Barghouti semakin meningkat selama Intifada Kedua, yang dimulai pada tahun 2000. Ia memimpin Brigade Martir al-Aqsa, sayap bersenjata Fatah, dan menjadi salah satu tokoh sentral dalam gerakan perlawanan bersenjata.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement