REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang digelar pada akhir pekan lalu memunculkan dualisme kepemimpinan. Dua calon ketua umum (ketum), Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengeklaim telah terpilih menjadi ketum partai berlambang ka'bah itu secara aklamasi.
Salah satu calon ketum PPP, Husnan Bey Fananie, tidak mengakui hasil dari muktamar yang digelar di Mercure Convention Center Ancol, Jakarta Utara, pada Sabtu-Senin (27-29/9/2025) itu. Pasalnya, pelaksanaan muktamar itu dinilai tidak sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) PPP.
"Kami bersama fusi di PPP, menyatakan tidak mensahkan, atau menolak adanya muktamar yang dilakukan secara tidak benar, tidak sesuai dengan AD/ART. Kami akan minta pada semuanya untuk melakukan muktamar ulang sebelum akhirnya tahun 2025," kata dia saat konferensi pers di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (30/9/2025).
Husnan mengeklaim, dirinya adalah orang pertama yang mendeklarasikan diri untuk menjadi calon ketum PPP dalam muktamar kali ini. Bahkan, deklarasi itu dilakukan di Kantor DPP PPP pada 18 Agustus 2025.
Ia mengaku sengaja ingin maju menjadi ketum PPP untuk bertarung melawan Mardiono. Apalagi, suara PPP terus merosot di bawah kepemimpinan Mardiono, yang telah bertahun-tahun menjadi pelaksana tugas (plt) ketum.
Ihwal lokasi deklarasi yang digelar di Kantor DPP PPP, hal itu juga untuk memberi tanda kepada pengurus partai. Pasalnya, selama ini proses pendaftaran calon ketum tidak pernah diinformasikan secara terbuka. Bahkan, waktu pelaksanaan muktamar juga tidak jelas sejak jauh hari.
"Kenapa kita melakukan seperti itu? Karena pengumuman tentang Muktamar, PPP, tidak pernah jelas. Seakan-akan disembunyikan. Kepanitian pun tidak pernah jelas," kata dia.