Rabu 20 Aug 2025 16:47 WIB

Penghasilan Fantastis Anggota DPR Dinilai tak Sebanding dengan Kinerjanya

Penghasilan yang diterima para anggota DPR itu tidak berbanding lurus dengan kinerja.

Rep: Bayu Adji Prihammanda/ Red: Mas Alamil Huda
Sejumlah Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna Ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna Ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tunjangan perumahan untuk setiap anggota DPR yang mencapai Rp 50 juta per bulan menjadi perbincangan banyak pihak. Pasalnya, angka itu dinilai terlalu besar untuk menyewa sebuah rumah di Jakarta.

Pengamat Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, dengan adanya tunjangan perumahan, penghasilan tetap para anggota DPR setiap bulannya mencapai lebih dari Rp 100 juta. Angka itu belum ditambah dengan dana lainnya, seperti tunjangan reses dan dana aspirasi yang diterima setiap masa reses.

Baca Juga

"Tunjangan reses dan dana aspirasi itu jumlahnya juga enggak main-main. Di periode lalu, Krisdayanti menyebut angka Rp 450 juta, yang diberikan lima kali dalam setahun. Terus ada juga dana reses yang diberikan sebanyak 8 kali dengan total Rp 140 juta," kata dia saat dikonfirmasi Republika, Rabu (20/8/2025).

Menurut dia, uang yang diterima anggota bisa lebih banyak lagi apabila tunjangan reses dan dana aspirasi juga ditambahkan sebagai pemasukan. Namun, ia menilai, penghasilan yang diterima para anggota DPR itu tidak berbanding lurus dengan kinerja mereka.

"Uang dengan jumlah yang sangat lebih dari cukup itu seharusnya menghapus semua hambatan bagi anggota DPR untuk bekerja maksimal," kata dia.

Licius mengatakan, kenaikan tunjangan itu bukan untuk mendongkrak kinerja. Tunjangan yang terus bertambah ternyata memanjakan anggota DPR. Sikap manja itu tampak dalam keogahan meningkatkan kinerja atau mengutamakan kepentingan masyarakat.

Ia mencontohkan, dalam 10 bulan awal DPR 2024-2029 saat ini bekerja, para anggota DPR baru berhasil mengesahkan satu UU dari 42 RUU Daftar Prioritas 2025. Sementara itu, 13 RUU lainnya yang juga berhasil disahkan DPR berasal dari Daftar Kumulatif Terbuka (RUU tentang Propinsi atau Kabupaten/Kota, RUU tindak lanjut keputusan MK seperti RUU BUMN dan RUU Minerba).

"Jadi yang benar-benar menampakkan visi politik legislasi DPR baru 1 RUU saja. Ya RUU BUMN dan RUU Minerba juga sebenarnya menampilkan politik legislasi, tetapi ngga ada tuh di daftar 42 RUU Prioritas 2025," kata dia.

Ia menambahkan, dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR juga jarang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Padahal ada banyak kebijakan utama pemerintah yang muncul tahun ini, tapi suara DPR seperti tenggelam di balik tumpukan uang tunjangan besar yang mereka terima.

"Begitu juga pelaksanaan fungsi anggaran hampir sama dengan pengawasan. Tidak nampak ada sikap kritis DPR sebagai lembaga penyeimbang terhadap pemerintah," ujar Lucius.

Karena itu, ia menilai, kenaikan tunjangan itu nampak tak layak diberikan. Penambahan tunjangan seharusnya menjadi bentuk apresiasi untuk pencapaian yang ditunjukkan oleh lembaga. Namun, kenaikan tunjangan justru menutup peluang hadirnya apresiasi atas kinerja mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement