Selasa 11 Nov 2025 19:23 WIB

Kesejahteraan dan Perlindungan Pekerja Dinilai Lemah, Legislator PKB Inisiasi RUU Pekerja GIG

Hingga kini belum terdapat payung hukum yang secara khusus melindungi pekerja GIG.

Wakil Ketua Komisi V DPR RI Syaiful Huda menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja GIG di Indonesia.
Foto: Dok Pri
Wakil Ketua Komisi V DPR RI Syaiful Huda menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja GIG di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Syaiful Huda menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja GIG di Indonesia. Wakil Ketua Komisi V DPR RI tersebut menilai Indonesia harus secepatnya mengesahkan RUU Pekerja GIG untuk memastikan perlindungan dan kesejahteraan para pekerja.

“Kami sudah menyusun draf RUU Pekerja GIG yang memuat tiga tujuan besar yakni perlindungan hak dasar dan fleksibilitas pekerja, memastikan kejelasan kewajiban bagi aplikator, dan memastikan keselamatan publik. Inisiasi pengajuan RUU Pekerja GIG sesuai dengan hak dasar kami sebagai legislator untuk mengusulkan produk legislasi demi kepentingan publik,” ujar Syaiful Huda, dalam Diskusi Dialektika Demokrasi, Koordinatoriat Wartawan Parlemen bertajuk RUU Transportasi Online Masuk Prolegnas 2026 : Menata Mobilitas Digital, Membangun Arah Baru Transportasi Indonesia, di Kompleks Parlemen, Selasa (11/11/2025).

Baca Juga

Huda mengatakan, seiring pesatnya perkembangan digitalisasi di Indonesia, jumlah pekerja ekonomi GIG (GIG workers) terus meningkat signifikan. Pertumbuhan paling menonjol terlihat pada sektor transportasi daring yang melibatkan jutaan mitra pengemudi melalui platform Gojek, Grab, Maxim, Green SM, hingga Lalamove.

“Selain itu, muncul pula ragam jenis profesi digital seperti influencer, content creator, YouTuber, clipper, hingga pekerja kreatif lainnya,” katanya.

Sayangnya, kata Huda, hingga kini belum terdapat payung hukum yang secara khusus melindungi pekerja GIG di Indonesia. Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini belum memasukkan klasifikasi GIG workers sebagai bagian dari pekerja yang berhak memperoleh perlindungan formal.

“Ketiadaan payung hukum telah menempatkan jutaan pekerja GIG dalam posisi rentan. Mereka bekerja keras, namun tanpa jaminan perlindungan sosial, hubungan kerja yang jelas, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang memadai,” katanya.

Huda menjelaskan, pekerja GIG memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Namun secara struktur, mereka berada di posisi lemah dalam hubungan kerja dengan perusahaan aplikasi atau pemberi layanan digital. Hal ini membuat pekerja GIG tidak memiliki jaminan pendapatan, perlindungan kesehatan, hingga hak atas keselamatan kerja.

“Hubungan kerja pekerja GIG perlu didefinisikan ulang. Mereka bukan sekadar mitra, tetapi juga bukan sepenuhnya pekerja tetap. Maka negara perlu hadir untuk mendefinisikan klasifikasi pelaku GIG ekonomi dalam jenis pekerjaan yang sah dan dilindungi di Indonesia,” ujarnya.

RUU Pekerja GIG, lanjut Huda, diharapkan dapat mengakomodasi sejumlah aspek penting, seperti status dan hubungan kerja yang jelas antara platform dan pekerja GIG, kepastian pendapatan minimum serta skema bagi hasil yang adil, hingga perlindungan sosial termasuk akses BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Selain itu RUU Pekerja GIG ini memastikan adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang pasti dan mudah diakses.

Indonesia, kata Huda, juga perlu bergerak cepat agar tak tertinggal dalam melindungi jutaan warganya yang menggantungkan hidup dari platform digital. Apalagi sejumlah negara telah tegas mengesahkan Undang-Undang Pekerja GIG.

“RUU ini bukan untuk membebani platform digital, tetapi memastikan tumbuhnya ekosistem yang adil dan berkelanjutan. Jika pekerja terlindungi, produktivitas akan meningkat, dan sektor digital bisa berkembang lebih sehat,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement