Senin 08 Sep 2025 06:14 WIB

DPR Berani Hapus Tunjangan Rumah Tapi tidak dengan Tunjangan Lain yang Dinilai Masih Berlebihan

Take home pay DPR kini sebesar Rp65 juta per bulan usai tunjangan rumah dihapus.

Rep: Rizky Suryarandika, Eva Rianti/ Red: Andri Saubani
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (tengah), Saan Mustopa (kiri), dan Cucun Ahmad Syamsurijal (kanan) saat memberikan keterangan terkait hasil rapat pimpinan dengan fraksi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/9/2025). DPR menyepakati penghentian tunjangan perumahan bagi anggota DPR terhitung sejak 31 Agustus 2025 serta melakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri bagi anggota DPR.
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (tengah), Saan Mustopa (kiri), dan Cucun Ahmad Syamsurijal (kanan) saat memberikan keterangan terkait hasil rapat pimpinan dengan fraksi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/9/2025). DPR menyepakati penghentian tunjangan perumahan bagi anggota DPR terhitung sejak 31 Agustus 2025 serta melakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri bagi anggota DPR.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengapresiasi kesediaan DPR mendengarkan tuntutan masyarakat untuk menghapus tunjangan perumahan yang memang menjadi sumber kemarahan publik belakangan ini. Gaji DPR yang sebelumnya mencapai Rp101 juta per bulan kini menjadi Rp65 juta per bulan.

"Akan tetapi jika melihat total take home pay bulanan anggota yang masih di level 65 juta (rupiah) per bulan, nampaknya tak penyesuaian signifikan pada tunjangan-tunjangan lain DPR. Jadi hanya tunjangan perumahan saja yang benar-benar dengan berani dihapus oleh DPR," kata Lucius saat dikonfirmasi Republika pada Ahad (7/9/2025).

Baca Juga

Lucius mempertanyakan DPR bisa berani menghapus tunjangan perumahan tetapi tak berani menghapus beberapa tunjangan lain yang juga nampak berlebihan. Misalnya tunjangan komunikasi intensif senilai Rp 20.033.000 per bulan.

"Kan banyak tuh yang nanya, eksekusi tunjangan komunikasi intensif dengan masyarakat itu apa? Beli pulsa, beli paket, atau apa? Seintensif apa komunikasi anggota DPR dengan dukungan tunjungan sebesar itu?" ujar Lucius.

Lalu ada tunjangan jabatan dan tunjangan kehormatan anggota DPR RI. Menurut Lucius, dua tunjangan itu maknanya sama.

"Dua-duanya mau menghormati jabatan anggota DPR? Kenapa mesti dibikin menjadi dua jenis tunjangan? Apalagi nominal untuk masing-masingnya cukup besar," ujar Lucius.

Lucius juga mengamati tunjangan terkait peningkatan fungsi dan honorarium kegiatan pengikatan fungsi dewan nampak sama tujuannya, tetapi dibikin seolah-olah menjadi hal berbeda. Lucius menduga item tunjangan ini menjadi semacam strategi untuk bisa menambah pundi anggota Dewan.

"Jenis tunjangan harus benar-benar dievaluasi manfaatnya. Kalau DPR dibilang tak cukup aspiratif, kan mestinya tunjangan komunikasi intensif itu jadi ngga bermakna. Begitu juga tunjangan kehormatan dan tunjangan untuk anggota DPR RI, ini kan dua jenis tunjangan yang sama-sama mau mengapresiasi jabatan atau fungsi seorang wakil rakyat?" sindir Lucius.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement