Organisasi lingkungan hidup mengkritik kesepakatan perdagangan baru yang dapat menyebabkan Uni Eropa (UE) menghabiskan lebih dari USD750 miliar (12,2 kuadriliun rupiah) untuk impor bahan bakar fosil dari Amerika Serikat (AS) selama tiga tahun ke depan dan memperingatkan bahwa hal tersebut dapat merusak target iklim blok tersebut.
"Hal ini berisiko mengungkung Eropa dalam ketergantungan bahan bakar fosil selama beberapa dekade, membuat tagihan energi menjadi fluktuatif, dan mengakselerasi kebakaran hutan serta banjir yang telah menimbulkan petaka di seluruh benua," kata Andreas Sieber, direktur asosiasi kebijakan dan kampanye di organisasi iklim, 350.org.
Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen menyebut kesepakatan dagang AS-UE sebagai "kesepakatan terbesar yang pernah ada", dan dia menambahkan energi dari AS akan menggantikan minyak dan gas Rusia, "yang tidak lagi kita inginkan."
Sebaliknya, Eropa akan membeli gas alam cair (LNG) yang "lebih terjangkau harganya dan lebih baik" dari AS, kata von der Leyen.
Kesepakatan yang mencegah perang dagang AS-UE tersebut mencakup tarif sebesar 15% pada ekspor utama UE ke AS, seperti mobil.
Namun, para kritikus mengatakan kesepakatan ini turut "mengubah arah" kebijakan iklim Eropa.
"Kesepakatan perdagangan AS-Uni Eropa yang baru merupakan perubahan arah yang dramatis terhadap prioritas Komisi Eropa dan Presiden von der Leyen beberapa tahun lalu," kata Esther Bollendorff, koordinator kebijakan gas senior di kelompok iklim, CAN Europe.
"Yakni membangun Kesepakatan Hijau Eropa yang berkesinambungan untuk masa depan melalui ambisi iklim dan percepatan pembangunan energi terbarukan."
Komisi UE di bawah von der Leyen, pada tahun 2019 merilis Kesepakatan Hijau untuk Memerangi Perubahan Iklim, dan mengejar target karbon netral di tahun 2050. Eropa merupakan kawasan dengan pemanasan tercepat di dunia, menurut para ilmuwan. Benua ini pada tahun 2024 mengalami tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah.
Apa dampak kesepakatan belanja bahan bakar fosil UE-AS?
Komisi UE beberapa minggu sebelumnya mengajukan proposal pengurangan 90% emisi gas rumah kaca pada tahun 2040 di seluruh blok, dibanding tingkat emisi di tahun 1990.
Target jangka menengah tersebut, sejalan dengan tujuan netralitas karbon di tahun 2050, dengan langkah-langkah yang mencakup peningkatan efisiensi energi, elektrifikasi sektor transportasi, dan peningkatan energi hijau. Dalam lima tahun ke depan, blok ini menargetkan 42,5% pasokan energinya berasal dari sumber terbarukan.
Kesepakatan perdagangan AS-UE "bertentangan" dengan komitmen ini, menurut Luke Haywood, Kepala Iklim dan Energi European Environmental Bureau, sebuah jaringan organisasi-organisasi lingkungan.
"Meningkatkan impor energi AS tiga kali lipat hanya dalam tiga tahun, bukan hanya mustahil secara fisik, tetapi juga akan menggagalkan target dekarbonisasi jangka menengah Uni Eropa," tambah Haywood dalam sebuah pernyataan.
Pembakaran minyak dan gas bumi mengeluarkan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, yang memerangkap panas di atmosfer dan makin menghangatkan planet, sehingga memicu cuaca yang lebih ekstrem.
Penggantian gas alam yang disalurkan jaringan pipa dengan LNG dari AS akan semakin meningkatkan emisi di Eropa. Menurut Chris Aylett, peneliti di Pusat Lingkungan dan Masyarakat Chatham House, sebuah lembaga kebijakan independen yang berbasis di Inggris.
Hal ini disebabkan produksi dan transportasi LNG menghasilkan lebih banyak metana, gas rumah kaca yang jauh lebih kuat daripada CO2, meskipun tidak bertahan lama di atmosfer.
Apa Eropa akan benar-benar membeli energi AS?
Terdapat skeptisisme, apakah Eropa dapat menepati janji barunya membeli energi dari AS. Aylett mengatakan hal itu akan "sangat sulit."
Pada tahun 2024, Uni Eropa mengimpor minyak dan gas senilai sekitar EUR60 miliar (1,1 kuadriliun rupiah) dari AS. EUR24 miliar lainnya (sekitar 453 triliun rupiah) berasal dari Rusia. Jika ditotal, belanja tersebut "jauh" dari jumlah EUR216 miliar (4 kuadriliun rupiah) yang dijanjikan Uni Eropa untuk dibelanjakan setiap tahunnya, ujar Aylett kepada DW.
Komisi Eropa juga tidak dapat memaksa negara-negara anggota UE atau perusahaan-perusahaan untuk membeli energi AS, kata Aylett.
"Ini adalah sebuah harapan. Uni Eropa memiliki sarana untuk mendorongnya [...] tetapi semuanya bersifat sukarela, jadi Komisi sendiri tidak dapat secara langsung melakukan pembelian energi," tambahnya. "Dalam beberapa hal, janji yang dibuat tidak benar-benar dapat diwujudkan oleh Komisi UE sendiri."
Mengganti ketergantungan pada energi Rusia dengan ketergantungan energi pada AS juga dapat juga dapat menjadi "bencana" bagi keamanan energi UE, Aylett memperingatkan.
"Ini akan melanggar aturan pertama di mana Anda tidak boleh hanya bergantung pada satu pemasok," ujarnya kepada DW, seraya menambahkan bahwa hal tersebut akan membuat blok menjadi "sangat rentan."
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Agus Setiawan