Ahad 03 Aug 2025 04:15 WIB

Melihat Citra Avatar yang Terinfeksi, Bisa Picu Reaksi Sistem Imun Tubuh Kita

Para peneliti di Swiss memantau aktivitas otak 250 orang saat melihat citra avatar yang nampak sakit menggunakan teknologi realitas virtual(VR). Otak para relawan tampak memicu respons sistem imunitas.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Science Photo Library/IMAGO
Science Photo Library/IMAGO

Bayangkan kamu menggunakan perangkat realitas virtual (VR) dan melihat citra avatar wajah-wajah manusia, beberapa di antaranya tampak sakit karena infeksi.

Apakah sistem imun kita akan bereaksi?

Dalam riset yang dilakukan para ilmuwan dari Universitas Lausanne dan Universitas Jenewa di Swiss, sekitar 250 orang relawan yang mengikuti tampak menunjukkan reaksi ini..

Sistem kekebalan tubuh para peserta riset itu bereaksi hanya dengan melihat infeksi.

Kepada para peserta riset diperlihatkan karakter visual atau avatar yang beberapa di antaranya memiliki bercak-bercak merah, beberapa batuk, sementara beberapa lainnya nampak sehat.

Sejatinya, kepada para peserta tidak diperlihatkan orang sungguhan yang sakit, atau bahkan gambar orang sakit - melainkan hanya gambar karakter visual buatan. Tetapi sistem kekebalan tubuh mereka tetap bereaksi.

"Kita dapat menyimpulkan, otak memiliki kemampuan untuk membedakan pola infeksi virtual, menjadi aktif dan memberi respons hilir, yang menghasilkan kekebalan sistemik,” tulis Camilla Jandus, penulis pendamping makalah penelitian dan kepala Lab Jandus di Universitas Jenewa, dalam sebuah email kepada DW.

Jandus dan rekannya Andrea Serino menerbitkan makalah mereka di jurnal Nature Neuroscience.

Saat avatar membuatmu merasa mual

Para peneliti memantau aktivitas otak peserta penelitian saat melihat berragam avatar. Ini memungkinkan para peneliti untuk melacak reaksi peserta terhadap visual avatar tersebut.

Contohnya, saat avatar yang terlihat sakit mendekati peserta dalam realitas virtual, peserta pun akan memberikan respon kuat. Menurut Jandus dan Serino hal ini menunjukkan otak sedang memberikan peringatan.

Para peneliti mengecek reaksi ini dengan kelompok kontrol, dengan avatar yang berdiri lebih jauh atau terlihat sehat saat mendekati peserta. Mereka mengatakan hal ini mengindikasikan sensitivitas sistem kekebalan tubuh dalam merespon.

Mereka juga mengambil sampel darah dari peserta yang telah dihadapkan pada avatar yang terlihat sakit, dan sampel tersebut menunjukkan peningkatan aktivitas sel imun jenis tertentu yang disebut sel limfoid bawaan (ILCs).

ILCs berperan vital pada tahap awal respons imun terhadap infeksi. ILCs merespons sinyal awal dari sel yang rusak atau terinfeksi. Hasil tes darah tersebut menunjukkan reaksi otak terhadap avatar yang terlihat sakit memicu respons imun. Ini terjadi sebelum patogen benar-benar masuk ke dalam tubuh.

Terapkan hasil temuan VR dalam kehidupan nyata

Tim peneliti sedang mempertimbangkan berbagai aplikasi untuk penelitian mereka, termasuk penggunaan stimulus VR untuk meningkatkan vaksinasi dasar, menyeimbangkan sistem imun pada orang dengan penyakit autoimun atau sebagai pendekatan non-farmakologis pengobatan orang yang memiliki alergi.

"Ini bisa jadi peluang terapi,” kata Jandus. "Kami sedang menguji ide ini pada alergi, seperti alergi lebah dan tawon, di mana paparan berulang terhadap sengatan lebah atau tawon virtual tidak lagi menyebabkan reaksi alergi yang berlebihan.”

Meskipun belum ada bukti eksperimental yang mengonfirmasi apakah stimulus VR menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi terlalu reaktif, Jandus mengatakan, "Paparan berulang terhadap stimulus tersebut justru akan menghasilkan semacam toleransi.”

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Agus Setiawan

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement