REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan 100 batalyon infanteri teritorial pembangunan (yonif TP) di seluruh Indonesia mengundang kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil. Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia (Kapuspen TNI) Mayjen Kristomei Sianturi mengaku, bisa memahami kritikan tersebut.
Dia menerangkan mengapa pembangunan yonif TP salah satunya difokuskan di Papua. Kristomei menerangkan, dengan membandingkan luas Papua dan jumlah penempatan pasukan maka sebenarnya hal itu masih belum ideal.
"Ada banyak pasukan di Papua 9.000 TNI, kalau disebar di Papua seluas itu, gak sebanding jumlahnya. Kalau dilihat di titik-titik (peta) itu gak kelihatan," kata Kristomei di Subden Mabes TNI, Jalan Medan Merdeka Pusat, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025).
Dia menjelaskan, TNI menganut sistem pertahanan rakyat semesta (sishanrata). Karena itu, anggaran pertahanan saat ini difokuskan untuk program ketahanan pangan. Langkah itu dilakukan sebagai antisipasi terjadinya perang pada masa akan datang. Dengan jumlah anggaran pertahanan Rp 139,2 triliun yang terbilang terbatas, kata Kristomei, pemerintah memutuskan memprioritaskan memperkuat menambah sumber daya manusia (SDM).
"Mengapa batalyon TP dibentuk, ada apa sih? Kita itu sistem pertahanan rakyat semesta, kenapa gak beli kapal, pesawat? Hari inim budget pertahanan berapa? Bagaimana prioritas pertahanan, kalau kita punya uang, beli kapal, pesawat, masih lima sampai 10 tahun datang. Siapa bisa prediksi tidak ada perang satu sampai tiga tahun yang akan datang," kata mantan kadispenad itu.