REPUBLIKA.CO.ID,GAZA – Operasi penghancuran yang dilakukan oleh Israel di wilayah Rafah selatan Gaza telah meningkat tajam belakangan. Tindakan itu seiring mencuatnya rencana Israel mendirikan semacam kamp konsentrasi di wilayah tersebut
Hal ini disimpulkan unit investigasi Sanad dari Aljazirah. Sebelumnya, Kementerian Pertahanan Israel telah mengumumkan sebuah rencana untuk merelokasi 600.000 orang ke tempat yang menurut para pengamat sebagai “kamp konsentrasi” di wilayah selatan Gaza, dengan rencana untuk memperluas hal ini ke seluruh penduduk Jalur Gaza.
Analisis Sanad terhadap citra satelit hingga 4 Juli 2025, menunjukkan jumlah bangunan yang dihancurkan di Rafah meningkat menjadi sekitar 28.600, naik dari 15.800 pada 4 April 2025, menurut data dari Pusat Satelit Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNOSAT).
Ini berarti sekitar 12.800 bangunan dihancurkan antara awal April dan awal Juli saja - sebuah percepatan pembongkaran yang nyata yang bertepatan dengan serangan baru Israel ke Rafah yang diluncurkan pada akhir Maret 2025.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengatakan kepada para wartawan pada hari Senin bahwa 600.000 warga Palestina yang tinggal di daerah pesisir al-Mawasi akan dipindahkan ke Rafah, lokasi yang disebutnya sebagai “kota kemanusiaan” baru bagi warga Palestina, dalam waktu 60 hari setelah kesepakatan gencatan senjata disepakati.
Menurut Katz, seluruh penduduk sipil Gaza - lebih dari 2 juta orang - pada akhirnya akan dipindahkan ke kota di bagian selatan ini.

Sebuah proposal yang dilihat oleh Reuters membawa nama Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang didukung oleh Amerika Serikat (AS) merinci rencana untuk “Area Transit Kemanusiaan” di mana penduduk Gaza akan “tinggal sementara, melakukan deradikalisasi, mengintegrasikan kembali, dan mempersiapkan diri untuk pindah jika mereka ingin melakukannya”.
Menteri tersebut mengatakan bahwa Israel berharap dapat mendorong warga Palestina untuk “beremigrasi secara sukarela” dari Jalur Gaza ke negara-negara lain, dan menambahkan bahwa rencana ini “harus dipenuhi”.
Ia juga menekankan bahwa rencana ini tidak akan dijalankan oleh tentara Israel, melainkan oleh badan-badan internasional, tanpa menyebutkan organisasi mana yang akan mengimplementasikannya.
Philippe Lazzarini, kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) - yang telah dilarang oleh Israel - memperingatkan rencana pemindahan paksa massal terbaru ini.
“Ini secara de facto akan menciptakan kamp-kamp konsentrasi besar-besaran di perbatasan dengan Mesir untuk orang-orang Palestina, yang terus menerus mengungsi dari satu generasi ke generasi berikutnya,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa hal itu akan “menghilangkan prospek masa depan yang lebih baik bagi orang-orang Palestina di tanah air mereka”.

Komentator politik Israel Ori Goldberg mengatakan kepada Aljazirah bahwa rencana tersebut “berdasarkan fakta dan tujuan adalah sebuah kamp konsentrasi” bagi warga Palestina di Gaza selatan, yang berarti bahwa Israel melakukan “kejahatan terang-terangan terhadap kemanusiaan di bawah hukum kemanusiaan internasional”.
“Ini harus ditanggapi dengan sangat serius,” katanya, dan mempertanyakan kelayakan tugas “memusatkan penduduk Palestina di sebuah kota yang terkunci, di mana mereka bisa masuk tapi tidak bisa keluar”.